Pustaka

Merenungi Makna ke Tanah Suci dari Buku Haji Pengabdi Setan

Jum, 14 Juni 2024 | 12:00 WIB

Merenungi Makna ke Tanah Suci dari Buku Haji Pengabdi Setan

Buku Haji Pengabdi Setan karya Kiai Ali Mustafa Yaqub. (Foto: NU Online/Freepik)

Buku karya Kiai Ali Mustafa Yaqub yang berjudul “Haji Pengabdi Setan” ini sebenarnya adalah bunga rampai kumpulan artikel beliau yang tercecer dalam berbagai waktu dan kesempatan. Adapun gelar judul haji pengabdi setan ini dinisbatkan oleh Kiai Ali kepada orang-orang yang beribadah haji namun bukan karena Allah swt, melainkan karena patuh kepada perintah setan dan hawa nafsunya.


Dari 30 judul yang tersaji di buku, hanya empat judul tulisan saja yang berkaitan dengan masalah haji. Intinya, beliau mengkritik keras mereka yang tergolong kemaruk (bernafsu) berhaji. Mereka itu adalah siapa saja yang telah menunaikan ibadah (wajib) haji namun kemudian mengulangi (bahkan berulang-ulang) dengan dalih mengamalkan sunnah tanpa memperhatikan kondisi sosial-ekonomi masyarakat di sekitarnya. 


Maka, gugat Kiai Ali Mustofa Yaqub, apakah berhaji berulang-ulang itu mereka niati semata untuk Allah? Ataukah, sejatinya mereka mengikuti bisikan setan agar di mata awam dinilai mulia? Jika motivasi yang disebut terakhir ini yang mendorong, maka berarti mereka berhaji bukan karena Allah melainkan karena perintah setan.


Haji Pengabdi Setan

Dalam bukunya, Kiai Ali memaparkan bahwa di saat banyak anak yatim telantar, puluhan ribu orang kelaparan, tidak hanya satu atau dua tetangga bahkan kerabat yang masih berkekurangan, dan banyak ‘rumah’ Allah swt roboh, serta bangunan pesantren yang terbengkalai, banyak dari kita lalu pergi haji kedua atau ketiga kalinya bahkan berkali-kali.


Maka patut dipertanyakan, apakah haji kita itu karena Allah swt? Ayat manakah yang menyuruh kita haji berkali-kali sementara masih ada segudang kewajiban agama di depan kita? Pertanyaan lain yang beliau lontarkan adalah, apakah haji kita mengikuti haji Nabi saw? Kapan Nabi memberi teladan atau menyuruh seperti itu?


Memang benar, jika melihat kepada sirah Nabi Muhammad saw, Nabi tidaklah berhaji kecuali hanya sekali, yaitu pada haji wada atau haji perpisahan, tepat tiga bulan sebelum Rasulullah saw wafat. Padahal ibadah haji sudah diwajibkan sejak 6 H. Namun dikarenakan Makkah masih dikuasai kaum kafir Quraisy, dan baru ditaklukan pada peristiwa Fath Makkah, pada 12 Ramadhan 8 H, maka Nabi Muhammad saw tidak dapat langsung mengerjakan ibadah haji.


Ketika sudah ada kesempatan pun, Nabi Muhammad saw tidak langsung berhaji. Padahal Nabi bisa melakukannya tiga kali, namun Nabi hanya melakukannya sekali yaitu pada 10 H. Nabi Muhammad saw juga dapat melaksanakan ibadah umrah ribuan kali, namun Nabi hanya melakukan umrah sunnah tiga kali dan umrah wajib bersama haji sekali.


Kiai Ali menegaskan, sekiranya haji dan umrah berkali-kali itu baik, tentu Nabi Muhammad saw lebih dahulu mengerjakannya. Sebab Rasulullah merupakan teladan terbaik (uswatun hasanah) bagi umatnya.


Beliau juga menambahkan bahwa ada kaidah fikih yang selaras dengan persoalan haji berkali-kali ini. Kaidah fikih menyebutkan, al-muta’addiyah afdhal minal qashirah (ibadah sosial lebih utama daripada ibadah individual).


Menyantuni anak yatim termasuk ibadah muta’addiyah, dan penyantunnya dijanjikan surga sekaligus hidup berdampingan di dalamnya dengan Rasulullah saw.


قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “اَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيْمِ فِى الْجَنَّةِ”. هَكَذَا وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى وَفَرَّجَ بَيْنَهُمَا.


Artinya: "Rasulullah saw. bersabda, “Aku dan orang yang memelihara anak yatim itu akan masuk surga seperti ini.” Nabi memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah dan merenggang keduanya." (HR. Bukhari)


Sedangkan untuk haji mabrur yang termasuk dalam ibadah qashirah, Nabi hanya menjanjikan surga tanpa hidup berdampingan dengannya.


قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “العمرة إلى العمرة كفارة لما بينهما، والحج المبرور ليس له جزاء إلا الجنة”


Artinya: "Rasulullah saw bersabda, “Umrah ke umrah berikutnya merupakan pelebur dosa antara keduanya. Dan tiada balasan bagi haji mabrur, melainkan surga”. (HR. Bukhari dan Muslim)


Menurutnya, inilah bukti ibadah sosial lebih utama daripada ibadah individual. Karenanya, Kiai Ali menyimpulkan, agar cukuplah melakukan ibadah haji sekali, apalagi ketika masih banyak orang yang membutuhkan di sekitar kita.


Terlebih lagi masa tunggu haji saat ini bisa mencapai belasan bahkan puluhan tahun. Maka sudah sepatutnya, bagi yang sudah pernah melaksanakan haji untuk memberikan kesempatan kepada yang belum haji. (hal. 5-6)


Kelebihan dan Kekurangan Buku Haji Pengabdi Setan

Salah satu kelebihan buku ini terletak pada kepiawaian penulisnya dalam menghimpun berbagai macam isu, dari permasalahan akidah, ibadah, sampai mu’amalah. Dari ritual sampai sosial, dari ilmu hadits sampai permasalahan wisata. Termasuk juga permasalahan ekonomi syariah, tafsir dan lain-lain sebagainya, tak luput dari sorotan paparannya.


Meski banyak kelebihannya, namun namanya juga karya manusia, pasti tak luput dari kata kekurangan. Di antaranya adalah kurang sentuhan ilustrasi yang bisa menambah semangat para pembaca dalam mengarungi samudra ilmu yang berada di dalamnya. 


Identitas Buku  

Judul Buku: Haji Pengabdi Setan
Penulis: Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.
Penerbit: Pustaka Firdaus
Tahun Terbit: 2015
Kota Terbit: Jakarta
Tebal: 240 halaman
ISBN: 979541190
Peresensi: M. Ryan Romadhon, Alumnus Ma’had Aly Al-Iman Bulus Purworejo