Nasional

UU KIA: Harapan Cuti Suami Diperpanjang hingga Kekhawatiran Terlalu Lama Cuti

Jum, 7 Juni 2024 | 12:00 WIB

UU KIA: Harapan Cuti Suami Diperpanjang hingga Kekhawatiran Terlalu Lama Cuti

Ilustrasi keluarga. (Foto: Freepik)

Jakarta, NU Online

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan menjadi undang-undang (UU) di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (4/6/2024).


Undang-undang KIA mengatur sejumlah hal terakait kesejahteraan ibu dan anak termasuk cuti bagi ayah atau suami selama dua hari dan dapat diberikan tambahan paling lama tiga hari berikutnya atau sesuai kesepakatan dengan pemberi kerja.


Aturan tersebut disambut baik oleh publik, salah satunya Nur Fajri Shidiq (34). Sebagai seorang pegawai di perusahaan penanaman modal asing (PMA) di Cikarang Bekasi, Fajri merasa aturan tersebut mendukung peran suami baik sebelum melahirkan maupun setelah melahirkan.Selain bekerja, Fajri disibukkan mengurus dua buah hatinya.


Saat sang istri melahirkan ia hadir menemani proses persalinan, hingga mengurus anak yang baru lahir dan membantu kebutuhan rumah tangga. Namun ia merasa tidak bisa optimal menemani istri dan mengurus kedua buah hatinya saat itu. Hal ini tidak terlepas dari minimnya waktu cuti atau libur yang diberikan perusahaan.


“Anak saya yang pertama harus menginap dulu sampai lima hari di rumah sakit karena ada sedikit masalah pasca-lahir. Jadi masih perlu perawatan, baru dibawa balik ke rumah itu besoknya saya harus masuk kerja tapi enggak stabil kepikiran istri dan anak. Saat itu jatah cuti hanya satu minggu, hemat saya kalau memang masa cuti bisa ditambah sangat membantu,” kata Fajri kepada NU Online, Kamis (7/6/2024).


Menurut Fajri, peran suami sangat penting dan krusial bagi anak dan ibu yang baru melahirkan. Suami harus sigap membantu kebutuhan istri dan bayi karena ia tahu perjuangan ibu melahirkan tidak mudah bahkan satu minggu setelah proses persalinan  masih merasakan sakit pada rahimnya.


“Istri pasca melahirkan itu kondisinya lemah dia butuh kehadiran suami apalagi saya hidup merantau jauh dari orang tua. Kehadiran orang tua juga enggak selamanya menemani dan membantu istri,” kata Fajri.


Kekhawatiran terlalu lama cuti

Fajri beruntung mendapatkan cuti dari perusahaan. Namun ia kerap cemas jika pekerjaan diserahkan ke teman kerjanya dalam waktu yang lama membuat dirinya diberhentikan dari perusahaan.


“Tentunya aturan cuti akan ada kelemahanya, kerjaanya akan di-handle orang lain. Nah ini harus juga dipikirkan. Jangan sampai ketika karyawan cuti ayah dan kemudian masuk kerja kembali justru tidak mendapatkan job kerja lagi dan berakhir PHK atau keputusan lain yang merugikan,” jelas Fajri.


Selain Fajri, ketentuan cuti tambahan bagi suami dalam UU KIA mendapat respons positif dari Rohman Aji (32). Aji berharap UU KIA yang mengatur cuti bagi suami tak hanya lima hari saja melainkan ditambah disesuaikan dengan kondisi istri usai melahirkan.


“Kalau istri lahiran normal mungkin bisa cepat pulih, namun jika lahiran secara sesar maka membutuhkan waktu lama sehingga aturan disesuaikan karena pemulihan lama apalagi kalau istri juga punya anak kecil. Saya harap aturan cuti bagi suami ditambah lagi untuk pendampingan yang lebih intens,” kata Aji.


Penting suami pahami kondisi istri

Psikolog keluarga dari Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Maryam Alatas mengatakan, sejumlah negara seperti Swedia dan Kanada telah membuat kebijakan terkait cuti ayah dengan jangka waktu lama. Meskipun di Indonesia aturan cuti bagi ayah hanya 2-5 hari saja tapi perlu apresiasi.


“Dari enggak ada menjadi ada itu sudah kemajuan, disyukuri saja dulu. Kondisi ibu pasca-melahirkan juga berbeda-beda, ada yang cepat recovery, ada yang justru mengalami gangguan seperti depresi atau cemas pasca-melahirkan. Yang terpenting adalah suami bisa memahami kondisi istri dan mengerti apa yang dapat ia lakukan agar membuat kondisi istri membaik dan tujuan diberikan cuti bisa maksimal serta manfaatnya bisa dirasakan,” tandasnya.


Mengatasi fatherless

Asisten Deputi Perumusan Kebijakan Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Dian Ekawati menegaskan, peran ayah harus didorong untuk mengatasi persoalan mental orang tua, terutama ibu. Oleh karena itu, UU KIA harus bisa mengatasi persoalan kehilangan figur ayah (fatherless) dalam keluarga.


“Kita tidak mau status fatherless country menempel di Indonesia, sehingga jangan jadikan isu ini sebagai hal yang biasa. Pemberian cuti kepada ayah diharapkan dapat memaksimalkan peran ayah dalam mendampingi istrinya dan membentuk ikatan dengan anak,” ucapnya dalam diskusi daring terkait RUU KIA di Jakarta beberapa waktu lalu.