Nasional

Kelebihan dan Kekurangan PPDB Sistem Zonasi Menurut Pakar Pendidikan

Sen, 1 Juli 2024 | 07:00 WIB

Kelebihan dan Kekurangan PPDB Sistem Zonasi Menurut Pakar Pendidikan

Ilustrasi. (Foto: Freepik)

Jakarta, NU Online

Pakar pendidikan Universitas Negeri Semarang (UNNES), Edi Subkhan menyatakan bahwa sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sistem zonasi memiliki sejumlah kelebihan dan kekurangan.


Salah satu keuntungan utama dari sistem PPDB zonasi adalah memberikan kesempatan belajar yang lebih luas bagi siswa untuk menempuh pendidikan di sekolah negeri yang dekat dengan rumah siswa.


“Keuntungannya bisa menekan biaya transportasi, dan mendobrak praktik bahwa sekolah unggulan hanya untuk siswa yang berprestasi,” kata Edi kepada NU Online, Sabtu lalu.


Edi menekankan bahwa secara substansial, PPDB zonasi hendak mengubah praktik bahwa hanya siswa berprestasi atau dengan nilai unggul saja yang boleh bersekolah di sekolah tertentu.


“Sebagai sekolah negeri, mestinya menerima semua siswa terlepas dari apakah ia bagus-bagus nilainya atau tidak,” tambahnya.


Namun, Edi juga mencatat adanya masalah infrastruktur yang belum siap untuk memeratakan kualitas sekolah negeri di Indonesia. Bahkan, hal ini dapat memicu praktik-praktik kecurangan dalam PPDB.


“Ada kesenjangan antara sekolah negeri yang satu dan lainnya, sehingga ketika siswa tinggal satu zona dengan sekolah negeri yang dipersepsikan kurang bagus kualitasnya, maka orangtua cenderung akan memperjuangkan anaknya untuk sekolah di luar zonanya,” ujarnya.


Edi menilai melihat fakta yang ada secara historis dan sosiologis sistem pendidikan di Indonesia sudah memiliki sekolah-sekolah yang dianggap unggulan dan favorit.


Kebijakan PPDB sistem zonasi memang memaksa sekolah yang dianggap unggulan untuk menerima calon siswa dari sekitarnya walaupun nilai akademiknya maupun prestasi lainnya kurang bagus.


“Di sini terdapat dasar keadilan sosial, di mana sekolah negeri yang dianggap unggul harus bersedia mendidik calon siswa dengan nilai maupun prestasi rata-rata yang berasal dari sekitar sekolah tersebut,” ucapnya.


Edi mengakui bahwa meski tidak ada penolakan eksplisit, banyak isu yang muncul di kalangan guru-guru di sekolah favorit. Mereka mengeluhkan kesulitan mengajar anak-anak baru yang memiliki tingkat kecerdasan beragam dibandingkan masa sebelumnya ketika mereka hanya mengajar anak-anak cerdas.


Di sisi lain, anak-anak cerdas yang rumahnya tidak berada dalam zona sekolah unggulan harus masuk melalui jalur prestasi atau afirmasi. Hal ini menimbulkan rasa ketidakadilan terutama dari siswa dan orangtua, yang merasa bahwa usaha belajar mereka tidak dihargai karena posisi mereka tergeser oleh calon siswa setempat.


“Jika mereka terpaksa melanjutkan studi di sekolah negeri yang satu zona dengan tempat tinggal mereka, yang dikhawatirkan adalah mereka masuk ke sekolah yang kurang bagus walau statusnya sekolah negeri, sehingga potensi akademik mereka tidak akan dapat dioptimalkan,” jelas Edi.


“Dengan demikian, jika ditimbang maslahat dan mudaratnya, ya fifty-fifty lah,” tutupnya.