Warta KRISIS MESIR

Ulama Al-Azhar Debat Soal Demonstrasi di Mesir

Jumat, 4 Februari 2011 | 20:15 WIB

 

Kairo, NU Online
Sejak meletusnya demonstrasi besar-besaran di Mesir, yang bermula pada 25 Januari 2011 dan semakin membesar hingga sekarang, muncul banyak sekali pandangan dari para pakar. Perdebatan ini tak hanya menyangkut sosial, politik, dan ekonomi, tapi sudah merambah pada status hukumnya <>dalam sudut pandang Fiqih Islam.

Berdasarkan survei terhadap berbagai pendapat dalam situs OnIslam yang dirilis oleh Akhbarelyoum-dz.com, perdebatan ini berujung pada berbagai pendapat yang bervariasi.

Etika Demonstrasi

Syekh Ali Abul Hasan, mantan ketua fatwa al-Azhar menyatakan bahwa demontrasi untuk mengajukan tuntutan kebangsaan atau untuk sekadar mengekspresikan pendapat adalah, "tidak masalah secara undang-undang dan agama, akan tetapi disana terdapat etika yang diajarkan Rasul supaya tidak memicu fitnah yang lebih besar."

"Wajib bagi para demonstran di Mesir dan sekitarnya keluar rumah secara damai, tanpa senjata. Sementara bila aksi demonstrasi berubah menjadi pertempuran maka masing-masing wajib kembali ke rumah masing-masing seketika itu juga," lanjut Syekh Ali melengkapi penjelasan.

Perkara Halal yang Paling Dibenci

Senada dengan Syekh Ali Abul Hasan, Dr. Mostafa al-Syuk'ah, salah satu anggota Lembaga Penelitian Islam al-Azhar, menyatakan bahwa berdemonstrasi menuntut hal-hal yang tak terlarang merupakan perkara halal yang paling dibenci, sebagaimana hukum talak (cerai) dalam Islam.

Perkara Tertolak dalam Agama

Sementara itu, Prof. Dr. Ahmad al-Sayih, salah satu ulama aqidah Universitas al-Azhar, berfatwa bahwa, "demonstrasi dan bentrokan massa adalah perkara yang tertolak secara syariat."

"Dilarang mengadakan demonstrasi yang menyebabkan instabilitas keamanan, karena itu tidak layak sama sekali dalam syariat Islam," ujarnya memperkuat fatwanya.

"Asal hukum demonstrasi dan bentrokan massa adalah dilarang dalam Islam, karena menyampaikan pendapat bisa dengan cara-cara lain yang lebih beretika."

Sarana Syariat

Lalu apakah demonstrasi damai merupakan salah satu cara yang disyariatkan dalam mengekspresikan pendapat masyarakat?

Syekh Sa'id 'Amir, ketua bidang fatwa Lembaga Fatwa al-Azhar, menolaknya dengan alasan bahwa mayoritas Ulama sepakat akan keharaman demonstrasi destruktif yang mengarah pada kekerasan.

Adapun dalam masalah para korban jiwa baik yang berasal dari pihak keamanan maupun para demonstran, Syekh 'Amir berfatwa bahwa status syahid atau tidak syahidnya mereka adalah urusan Allah. Itu karena melihat bahwa korban dari pihak keamanan gugur ketika bertugas membela negara. Adapun korban dari pihak demonstran status kesyahidannya juga dikembalikan pada Allah.

Berlawanan dengan pendapat Syekh 'Amir di atas, Syekh Gamal Qutb, mantan ketua Lembaga Fatwa Mesir menyatakan, "tak ada penghalang untuk menganggap bahwa demonstrasi damai termasuk dalam sarana yang disyariatkan dalam mengekspresikan pendapat masyarakat. Dan Islam juga mendorong umat untuk mendapatkan haknya, juga untuk meluruskan kesalahan, atau menolak kedzaliman."

Pendapat Syekh Gamal ini juga diamini Syekh Yusuf al-Qaradlawi, bahkan ia menganggap demonstrasi di Mesir kali ini sebagai kewajiban syariat.

Lantas ia menambahkan, "itu semua bisa dikategorikan dalam salah satu tingkatan amar ma'ruf nahi munkar. Dan wajib bagi ulil amri (para penguasa) berprasangka baik kepada para demonstran yang hendak menyampaikan pendapatnya. Dan kedua belah pihak wajib menghindari kekerasan atau apapun yang bisa memicu kekerasan."[nova]