Warta

Perda Syariat Islam Sengaja Dibuat “Abu-abu”

Jumat, 11 Agustus 2006 | 12:48 WIB

Jakarta, NU Online
Aktivis perempuan Nahdlatul Ulama (NU) Lily Zakiya Munir menilai peraturan daerah (perda) bernuansa syariat Islam yang marak belakangan ini memang sengaja dibuat “abu-abu”. Secara umum, katanya, perda-perda yang muncul di sejumlah daerah di Indonesia itu tidak jelas maksudnya sehingga muncul banyak penafsiran.

“Saya melihat perda-perda (syariat Islam, red) sengaja dibikin ‘abu-abu’, terlalu open interpretative atau multi-interpretasi,” kata Lily saat hadir pada diskusi yang digelar Pengurus Pusat (PP) Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) NU bertajuk “Perda Syariat Islam dalam Bingkai Negara Bangsa” di kantor NU Online, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Jum’at (11/8)

<>

Dijelaskan Lily, munculnya banyak penafsiran yang dimaksud karena pendefinisian dari pada obyek yang dijadikan perda tersebut tidak jelas. Dicontohkan, Perda Pelarangan Pelacuran di Tangerang. “Ada kata ‘mencurigakan’ (mengacu perilaku mencurigakan yang mengarah pada tindakan pelacuran-Bab II pasal 4, red), itu kan sangat banyak penafsiran. Mencurigakan seperti apa sehingga bisa dianggap pelacuran? Definisinya nggak jelas,” terangnya.

Lily menengarai, di balik kemunculan perda-perda itu ada upaya untuk menciptakan imej dan paradigma tentang syariat Islam yang sempit. Seolah-seolah, lanjutnya, keadilan, kesejahteraan sosial dan persoalan masyarakat lainnya tidak menjadi bagian dari syariat Islam itu sendiri.

Hal itulah yang kata Lily sedang dialami oleh masyarakat di Nangroe Aceh Darussalam. Menurutnya, masyarakat di propinsi yang dikenal sebagai serambi Mekkah tersebut merasa salah harap terhadap perda syariat Islam yang sudah dijalankan saat ini.

“Orang Aceh itu merasa salah harap. Yang mereka pikirkan dan harapkan sebelumnya, perda syariat Islam itu adalah yang mengatur tentang keadilan, kesejahteraan, maraknya korupsi. Ternyata yang terjadi cuma mengatur bagaimana keharusan seorang perempuan pake jilbab, tentang hukum cambuk dan sebagainya,” terang Lily yang juga Direktur Central for Pesantren and Democracy ini.

Satu hal yang juga menjadi akibat buruk dari diberlakukannya perda-perda bernuansa syariat Islam itu, pada umumnya perempuan yang menjadi sasaran sekaligus korban. Hal itu, lanjutnya, wajar karena perda-perda tersebut obyeknya lebih mengarah pada perempuan. “Seperti keharusan perempuan pake jilbab, pemberlakuan jam malam, dan lain-lain,” tandasnya.

Sementara itu, intelektual muda NU yang juga aktivis Wahid Institute Rumadi mengkategorikan kecenderungan sejumlah perda syariat Islam pada tiga kelompok. Kecenderungan pertama, katanya, adalah bersifat mengatur isu-isu moral yang secara umum tidak terkait dengan agama, misalkan tentang kesusilaan atau pelacuran.

Kecenderungan kedua, lanjut Rumadi, berkarakter mengatur tentang “keterampilan” beragama seseorang muslim. “Saya temui di Bulukumba (Sulawesi Selatan, red) ada perda yang mengatur keharusan seorang bisa baca tulis al-Qur’an dengan baik dan benar,” ungkapnya.

Sedangkan kecenderungan berikutnya adalah perda yang mengatur tentang fashion atau cara berpakaian seseorang. Perda tersebut, katanya, bermaksud mengarahkan masyarakat untuk berpakaian dengan model tertentu, pakaian ala seorang “muslim”.

“Di Bulukumba juga, ada cerita seorang biarawati yang diundang oleh kepala desa. Karena tidak ingin bermasalah, si biarawati ini menyesuaikan pakaiannya dengan menggunakan jilbab,” ujar Rumadi. (rif)