Syariah

Hukum Potong Kuku dan Rambut Ketika Kurban

Jum, 9 September 2016 | 11:01 WIB

Boleh atau tidaknya potong kuku dan rambut bagi orang yang ingin berkurban memang masih menjadi perdebatan. Perdebatan ini tidak hanya terjadi belakangan, seperti yang terlihat di medsos, tetapi juga sudah didiskusikan oleh ulama terdahulu.

Permasalahan ini berawal dari perbedaan ulama dalam memahami hadits riwayat Ummu Salamah yang terdokumentasi dalam banyak kitab hadits. Ia pernah mendengar Rasulullah SAW berkata:

Ų„Ų°Ų§ ŲÆŲ®Ł„ Ų§Ł„Ų¹Ų“Ų± Ł…Ł† Ų°ŁŠ Ų§Ł„Ų­Ų¬Ų© ŁˆŲ£Ų±Ų§ŲÆ Ų£Ų­ŲÆŁƒŁ… Ų£Ł† ŁŠŲ¶Ų­ŁŠ ŁŁ„Ų§ ŁŠŁ…Ų³ Ł…Ł† Ų“Ų¹Ų±Ł‡ ŁˆŁ„Ų§ ŲØŲ“Ų±Ł‡ Ų“ŁŠŲ¦Ų§ Ų­ŲŖŁ‰ ŁŠŲ¶Ų­ŁŠ

Artinya, ā€œApabila sepuluh hari pertama Dzulhijjah telah masuk dan seorang di antara kamu hendak berkurban, maka janganlah menyentuh rambut dan kulit sedikitpun, sampai (selesai) berkurban,ā€ (HR Ibnu Majah, Ahmad, dan lain-lain).

Pemahaman ulama terhadap hadits ini dapat dipilah menjadi dua kategori. Pendapat pertama memahami hadits ini mengatakan bahwa Nabi SAW melarang orang yang berkurban memotong kuku dan rambutnya. Sementara pendapat kedua mengatakan, yang dilarang itu bukan memotong kuku dan rambut orang yang berkurban (al-mudhahhi), tetapi hewan kurban (al-mudhahha). Uraiannya sebagai berikut.

Argumentasi Pendapat Pertama
Pendapat pertama mengatakan hadis di atas bermaksud larangan Nabi untuk tidak memotong rambut dan kuku bagi orang yang ingin berkurban. Larangan tersebut dimulai dari sejak awal sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Artinya, ia diperbolehkan memotong kuku dan rambutnya setelah selesai kurban.

Kendati kelompok pertama sepakat akan pemaknaan hadits ini ditujukan untuk orang berkurban, namun mereka berbeda pendapat terkait maksud dan implikasi larangan Nabi tersebut: apakah berimplikasi pada kerahaman? Makruh? Atau hanya mubah saja? Mula Al-Qari dalam Mirqatul Mafatih menyimpulkan.

Ų§Ł„Ų­Ų§ŲµŁ„ Ų£Ł† Ų§Ł„Ł…Ų³Ų£Ł„Ų© Ų®Ł„Ų§ŁŁŠŲ©ŲŒ ŁŲ§Ł„Ł…Ų³ŲŖŲ­ŲØ Ł„Ł…Ł† Ł‚ŲµŲÆ Ų£Ł† ŁŠŲ¶Ų­ŁŠ Ų¹Ł†ŲÆ Ł…Ų§Ł„Łƒ ŁˆŲ§Ł„Ų“Ų§ŁŲ¹ŁŠ Ų£Ł† Ł„Ų§ ŁŠŲ­Ł„Ł‚ Ų“Ų¹Ų±Ł‡ŲŒ ŁˆŁ„Ų§ ŁŠŁ‚Ł„Ł… ŲøŁŲ±Ł‡ Ų­ŲŖŁŠ ŁŠŲ¶Ų­ŁŠŲŒ ŁŲ„Ł† ŁŲ¹Ł„ ŁƒŲ§Ł† Ł…ŁƒŲ±ŁˆŁ‡Ų§. ŁˆŁ‚Ų§Ł„ Ų£ŲØŁˆ Ų­Ł†ŁŠŁŲ©: Ł‡Łˆ Ł…ŲØŲ§Ų­ ŁˆŁ„Ų§ ŁŠŁƒŲ±Ł‡ ŁˆŁ„Ų§ ŁŠŲ³ŲŖŲ­ŲØŲŒ ŁˆŁ‚Ų§Ł„ Ų£Ų­Ł…ŲÆ: ŲØŲŖŲ­Ų±ŁŠŁ…Ł‡

Artinya, ā€œIntinya ini masalah khilafiyah: menurut Imam Malik dan Syafiā€™i disunahkan tidak memotong rambut dan kuku bagi orang yang berkurban, sampai selesai penyembelihan. Bila dia memotong kuku ataupun rambutnya sebelum penyembelihan dihukumi makruh. Sementara Abu Hanifah berpendapat memotong kuku dan rambut itu hanyalah mubah (boleh), tidak makruh jika dipotong, dan tidak sunah pula bila tidak dipotong. Adapun Imam Ahmad mengharamkannya.

Itulah pendapat ulama terkait kebolehan potong kuku dan rambut pada saat berkurban. Ada ulama menganjurkan, membolehkan, bahkan mengharamkan. Imam An-Nawawi dalam Al-Majmuā€™ mengatakan, hikmah dari kesunahan ini ialah agar seluruh tubuh di akhirat kelak diselamatkan dari api neraka. Sebab sebagaimana diketahui, ibadah kurban dapat menyelamatkan orang dari siksa api neraka.

Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa larangan potong rambut dan kuku ini disamakan orang yang ihram. Artinya, selama sepuluh hari awal bulan Dzulhijjah tidak dibolehkan potong rambut dan kuku sebagaimana halnya orang ihram. Pendapat ini dikritik oleh sebagian ulama karena analoginya tidak tepat. Imam An-Nawawi mengatakan sebagai berikut.

Ł‚Ų§Ł„ Ų£ŲµŲ­Ų§ŲØŁ†Ų§ Ų§Ł„Ų­ŁƒŁ…Ų© ŁŁŠ Ų§Ł„Ł†Ł‡ŁŠ Ų£Ł† ŁŠŲØŁ‚Ł‰ ŁƒŲ§Ł…Ł„ Ų§Ł„Ų£Ų¬Ų²Ų§Ų” Ł„ŁŠŲ¹ŲŖŁ‚ Ł…Ł† Ų§Ł„Ł†Ų§Ų± ŁˆŁ‚ŁŠŁ„ Ł„Ł„ŲŖŲ“ŲØŁŠŁ‡ ŲØŲ§Ł„Ł…Ų­Ų±Ł… Ł‚Ų§Ł„ Ų£ŲµŲ­Ų§ŲØŁ†Ų§ ŁˆŁ‡Ų°Ų§ ŲŗŁ„Ų· Ł„Ų£Ł†Ł‡ Ł„Ų§ ŁŠŲ¹ŲŖŲ²Ł„ Ų§Ł„Ł†Ų³Ų§Ų” ŁˆŁ„Ų§ ŁŠŲŖŲ±Łƒ Ų§Ł„Ų·ŁŠŲØ ŁˆŲ§Ł„Ł„ŲØŲ§Ų³ ŁˆŲŗŁŠŲ± Ų°Ł„Łƒ Ł…Ł…Ų§ ŁŠŲŖŲ±ŁƒŁ‡ Ų§Ł„Ł…Ų­Ų±Ł…

Artinya, ā€œUlama dari kalangan madzhab kami mengatakan hikmah di balik larangan tersebut adalah agar seluruh anggota tubuh tetap ada/sempurna dan terbebas dari api neraka. Adapula yang berpendapat, karena disamakan (tasyabbuh) dengan orang ihram. Menurut ashab kami, pendapat ini tidak tepat, karena menjelang kurban mereka tetap boleh bersetubuh, memakai wangian, pakaian, dan tindakan lain yang diharamkan bagi orang ihram.

Argumentasi Pendapat Kedua
Pendapat kedua menyatakan bahwa yang dilarang itu bukan memangkas rambut orang yang berkurban ataupun memotong kukunya, tetapi memotong bulu dan kuku hewan kurban. Alasannya, karena bulu, kuku, dan kulit hewan kurban tersebut akan menjadi saksi di hari akhirat kelak.

Pandangan ini sebetulnya tidak populer dalam kitab fikih, terutama fikih klasik. Maka dari itu, Mula Al-Qari menyebut ini pendapat gharib (aneh/unik/asing). Ia mengatakan dalam Mirqatul Mafatih.

ŁˆŲ£ŲŗŲ±ŲØ Ų§ŲØŁ† Ų§Ł„Ł…Ł„Łƒ Ų­ŁŠŲ« Ł‚Ų§Ł„: Ų£ŁŠ: ŁŁ„Ų§ ŁŠŁ…Ų³ Ł…Ł† Ų“Ų¹Ų± Ł…Ų§ ŁŠŲ¶Ų­ŁŠ ŲØŁ‡ ŁˆŲØŲ“Ų±Ł‡ Ų£ŁŠ ŲøŁŲ±Ł‡ ŁˆŲ£Ų±Ų§ŲÆ ŲØŁ‡ Ų§Ł„ŲøŁ„Ł

Artinya, ā€œAda pendapat gharib dari Ibnul Malak. Menurutnya, hadits tersebut berarti tidak boleh mengambil (memotong) bulu dan kuku hewan yang dikurbankan.ā€

Pendapat yang dikatakan asing oleh Mula Al-Qari ini, belakangan dikuatkan oleh Kiai Ali Mustafa Yaqub. Dalam kitabnya At-Turuqus Shahihah fi Fahmis Sunnatin Nabawiyah, Kiai Ali mengatakan, hadits ini perlu dikomparasikan dengan hadits lain. Pemahaman matan hadits tidak akan sempurna jika hanya memahami satu hadits. Sebab itu, almarhum sering menegaskan Al-hadits yufassiru baā€™dhuhu baā€™dhan (hadits saling menafsirkan antara satu dengan lainnya).

Dalam disiplin pemahaman hadits (fiqhul hadits atau turuqu fahmil hadits) dikenal istilah wihdatul mawdhuā€™iyah fil hadits (kesatuan tema hadits). Teori ini digunakan untuk menelusuri ā€˜illat atau maksud satu hadits. Terkadang dalam satu hadits tidak disebutkan ā€˜illat dan tujuan hukumnya sehingga perlu dikomparasikan dengan hadits lain yang lebih lengkap, selama ia masih satu pembahasan. Terlebih lagi, ada satu hadits yang maknanya umum, sementara pada hadits lain, dalam kasus yang sama, maknanya lebih spesifik dan jelas.

Menurut Kiai Ali, memahami hadis Ummu Salamah di atas perlu dikomparasikan dengan riwayat ā€˜Aisyah yang berbunyi sebagai berikut.

Ł…Ų§ Ų¹Ł…Ł„ Ų¢ŲÆŁ…ŁŠ Ł…Ł† Ų¹Ł…Ł„ ŁŠŁˆŁ… Ų§Ł„Ł†Ų­Ų± Ų£Ų­ŲØ Ų„Ł„Ł‰ Ų§Ł„Ł„Ł‡ Ł…Ł† Ų„Ł‡Ų±Ų§Ł‚ Ų§Ł„ŲÆŁ…ŲŒ Ų„Ł†Ł‡ Ł„ŁŠŲ£ŲŖŁŠ ŁŠŁˆŁ… Ų§Ł„Ł‚ŁŠŲ§Ł…Ų© ŲØŁ‚Ų±ŁˆŁ†Ł‡Ų§ ŁˆŲ£Ų“Ų¹Ų§Ų±Ł‡Ų§ ŁˆŲ£ŲøŁ„Ų§ŁŁ‡Ų§. ŁˆŲ„Ł† Ų§Ł„ŲÆŁ… Ł„ŁŠŁ‚Ų¹ Ł…Ł† Ų§Ł„Ł„Ł‡ ŲØŁ…ŁƒŲ§Ł† Ł‚ŲØŁ„ Ų£Ł† ŁŠŁ‚Ų¹ Ł…Ł† Ų§Ł„Ų£Ų±Ų¶ ŁŲ·ŁŠŲØŁˆŲ§ ŲØŁ‡Ų§ Ł†ŁŲ³Ų§

Artinya, ā€œRasulullah SAW mengatakan, ā€˜Tidak ada amalan anak adam yang dicintai Allah pada hari Idhul Adha kecuali berkurban.Ā  Karena iaĀ  akan datang pada hari kiamat bersama tanduk, bulu, dan kukunya. Saking cepatnya,Ā  pahala kurban sudah sampai kepada Allah sebelum darah hewan sembelihan jatuh ke tanah. Maka hiasilah diri kalian dengan berkurban (HR Ibnu Majah).

Begitu pula dengan hadits riwayat al-Tirmidzi:

Ł„ŲµŲ§Ų­ŲØŁ‡Ų§ ŲØŁƒŁ„ Ų“Ų¹Ų±Ų© Ų­Ų³Ł†Ų©

Artinya, ā€œBagi orang yang berkurban, setiap helai rambut (bulu hewan kurban) adalah kebaikan,ā€ (HR At-Tirmidzi).

Berdasarkan pertimbangan dua hadits ini, Kiai Ali menyimpulkan bahwa yang dilarang Nabi itu bukan memotong rambut dan kuku orang yang berkurban, tapi hewan kurban. Karena, rambut dan kuku hewan itulah yang nanti menjadi saksi di akhirat kelak. Almarhum Kiai Ali mengatakan.

ŁŲ§Ł„Ų¹Ł„Ų© ŁŁŠ ŲŖŲ­Ų±ŁŠŁ… Ł‚Ų·Ų¹ Ų§Ł„Ų“Ų¹Ų± ŁˆŲ§Ł„Ų£ŲøŲ§ŁŲ± Ł„ŁŠŁƒŁˆŁ† Ų°Ł„Łƒ Ų“Ų§Ł‡ŲÆŲ§ Ł„ŲµŲ§Ų­ŲØŁ‡Ų§ ŁŠŁˆŁ… Ų§Ł„Ł‚ŁŠŲ§Ł…Ų© ŁˆŁ‡Ų°Ų§ Ų§Ł„Ų„Ų“Ł‡Ų§ŲÆ Ų„Ł†Ł…Ų§ ŁŠŁ†Ų§Ų³ŲØ Ų„Ų°Ų§ ŁƒŲ§Ł† Ų§Ł„Ł…Ų­Ų±Ł… Ł…Ł† Ų§Ł„Ł‚Ų·Ų¹ Ų“Ų¹Ų± Ų§Ł„Ų£Ų¶Ų­ŁŠŲ© ŁˆŲ£ŲøŲ§ŁŲ±Ł‡Ų§ŲŒ Ł„Ų§ Ų“Ų¹Ų± Ų§Ł„Ł…Ų¶Ų­Ł‰

Artinya, ā€œā€™Illat larangan memotong rambut dan kuku ialah karena ia akan menjadi saksi di hari kiamat nanti. Hal ini tepat bila dikaitkan dengan larangan memotongĀ  bulu dan kuku hewan kurban, bukan rambut orang yang berkurban.ā€

Kedua pendapat di atas merupakan upaya masing-masing ulama memahami dalil. Yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa konteks hadits di atas tertuju bagi orang yang berkurban saja, bukan untuk semua orang. Bagi orang yang tidak berkurban, tidak ada soal jika ia akan memangkas rambut atau memotong kukunya.

Menurut pandangan kami pribadi, kedua pendapat di atas dapat diamalkan sekaligus: selama menunggu proses kurban, lebih baik tidak memangkas rambut ataupun memotong kuku, bila itu memang tidak diperlukan. Namun andaikan, kukunya sudah panjang dan kotor, dan rambutnya sudah panjang dan berkutu, silakan dipotong dan kurbannya tetap dilanjutkan. Sebab memotong rambut tersebut tidak berimplikasi pada sah atau tidaknya kurban.

Kemudian untuk mengakomodasi pendapat kedua, jangan sampai kita mematahkan tanduk, kuku, ataupun memangkas bulu hewan kurban, karena kelak ia akan menjadi saksi di hadapan Allah SWT. Wallahu aā€™lam. (Hengki Ferdiansyah)