Nasional LITERASI DIGITAL

Tanpa Literasi Digital, Kemajuan Teknologi Berpotensi Jadi Ancaman

Jumat, 22 Juli 2022 | 23:00 WIB

Tanpa Literasi Digital, Kemajuan Teknologi Berpotensi Jadi Ancaman

Seminar Literasi Digital bertajuk Santri Harus Melek Digital di Pesantren Al-Kamal, Blitar, Jawa Timur, Jumat (22/7/2022).

Jakarta, NU Online
Wakil Ketua Rabithah Ma'ahid Islamiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (RMI PBNU) KH Hodri Arief menjelaskan, pemahaman literasi menjadi penting di tengah masifnya teknologi.


Ia mengibaratkan internet seperti sungai. Terdapat banyak benda yang hanyut di sungai. Internet terdiri dari perpaduan hal yang bermanfaat, tidak berguna, hingga membahayakan.


Hal itu disampaikan dalam seminar Literasi Digital bertajuk Santri Harus Melek Digital di Pesantren Al-Kamal, Blitar, Jawa Timur, Jumat (22/7/2022).


“Ini harus kita sadari. Tiga hal ini selalu muncul dan menggoda kita. Sayangnya, kadang bukan aspek bermanfaat yang diambil malah hal yang membahayakan itu yang crowded di dunia maya,” ungkap Kiai Hodri.


Ia menyampaikan, manfaat internet yakni menyediakan akses nyaris tak terbatas pada sumber-sumber pengetahuan yang melimpah, maktabah, serta komunikasi intensif dalam rangka belajar, seperti pengajian daring.


Kendati demikian, lanjut dia, secara spesifik teknologi dinilai sebagai tantangan pada tradisi dan otoritas.


“Saya maksudkan tradisi di situ sanad. Bangunan keilmuan yang kita terima dari guru dan bersambung pada Nabi Muhammad saw. Otoritas di situ adalah pandangan yang dianggap kebenaran diterima oleh khalayak,” ujarnya.


Selain itu, ia menyampaikan bahwa secara faktual internet juga telah menghapus batas-batas negara. Bahkan, merongrong privasi setiap orang. “Siapapun bisa mengatakan apapun kepada siapapun dan kapanpun,” kata Pengasuh Pesantren Bahrul Ulum, Karangharjo, Silo, Jember itu.


Lebih lanjut, ia membeberkan sedikitnya terdapat empat ancaman internet yang perlu diwaspadai. Pertama, internet menjadi alternatif mencari jawaban instan atas berbagai masalah yang dihadapi tanpa kecuali dalam isu-isu agama.


“Pemahaman keagamaan menjadi dangkal, superfisial, ekletik, parsial, dan terputus dari matarantai ilmu dan amal,” terang Kiai Hodri.


Kedua, ilmu dan amal berkembang di luar kerangka tradisi dan otoritas. Ketiga, framing berita atau tulisan kerap kali dilakukan secara sengaja untuk memanipulasi fakta, berita, dan bahkan pemahaman keagamaan.


“Sangat banyak umat Islam yang terpengaruh dengan framing berita,” tuturnya.


Keempat, validitas ilmu dan amal keagamaan terputus dari tradisi dan otoritas. Hal tersebut, baginya bisa dengan mudah melahirkan perbedaan yang mengarah pada perpecahan.


“Alpanya tradisi dan otoritas keagamaan akan melemahkan kohesi sosial dan bisa mengancam keutuhan bangsa dan negara,” paparnya.


“Membuat orang tidak lagi melihat kiai dan bu nyai pesantren sebagai pusat keteladanan amaliah. Ketika itu terputus maka mulailah kohesi sosial melemah dan menjadi ancaman bagi keutuhan bangsa dan negara,” tambahnya.


Padahal, menurut dia, dalam Islam diajarkan tidak hanya berkaitan dengan aspek kognitif. Tetapi, ada hal lain yang di kampus disebut sebagai aspek metafisika.


Kontributor: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Musthofa Asrori