Nasional

Ratusan Naskah Keagamaan Madura Berhasil Diselamatkan

Rabu, 28 Agustus 2019 | 12:30 WIB

Ratusan Naskah Keagamaan Madura Berhasil Diselamatkan

Sesban Litbang dan Diklat Kemenag, HM Ishom Yusqi, saat meluncurkan Repositori Online Naskah Keagamaan Madura, Selasa (27/8).

Surabaya, NU Online
Ada banyak penemuan metode dalam memahami agama. Demikian pula membaca al-Qur’an secara praktis. Belum lagi masalah sosial yang disikapi secara bijak oleh para pendahulu.

 

Hal tersebut telah disampaikan nenek moyang bangsa ini dalam banyak manuskrip dan naskah kuno. Solusi yang diberikan tentu saja lebih relevan karena berdasarkan temuan dan kondisi negeri ini. Justru pendekatan dari ilmuan luar negeri dirasa kurang tepat untuk diterapkan dan merespons problematika yang ada di Indonesia.

 

Penegasan ini disampaikan Sekretaris Badan (Sesban) Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, H Mohammad Ishom Yusqi, saat meluncurkan Repositori Online Naskah Keagamaan Madura, Selasa (27/8).

 

Menurut Ishom, selama ini telah berkembang cara membaca kitab kuning yang lebih praktis. “Ada model Amtsilati, juga al-Miftah, Amtsilatut Tasrifiyah, dan lainnya,” kata dia. Hal tersebut belum termasuk ilmu faraidl, i’lal, lanjutnya.

 

Dalam pandangannya, Indonesia memiliki kekayaan yang luar biasa sehingga sampai kini orang lebih dimudahkan dalam memahami agama. “Tugas kita saat ini adalah mereformulasi khazanah yang ada sehingga lebih bisa diterima zaman,” kata Sesban di hadapan sejumlah peserta pemilik naskah dan akademisi di Jawa Timur.

 

Menurut dia, para pendahulu telah banyak menuliskan naskah demi menjawab tantangan zaman. Baik dalam hal ekonomi, politik, sosial, ekonomi dan permasalahan lain. Namun yang menjadi pertanyaan besar adalah selama ini jarang yang menggali khazanah yang ada.

 

“Kita lebih membanggakan pendekatan politik, ekonomi, sosial dan sejenisnya dari para ilmuan luar negeri yang tentu saja sangat berbeda kulturnya dengan Indonesia,” kilahnya. Oleh sebab itu, yang mendesak dilakukan adalah bagaimana menggali kembali kekhasan dari nenek moyang tersebut lewat manuskrip dan naskah yang bertebaran di sejumlah tempat, lanjutnya.

 

Namun demikian usaha ke arah sana ternyata tidak mudah. “Banyak di antara kita yang tidak bisa membaca naskah kuno karena keterbatasan kemampuan dalam memahami teks yang ada,” ungkapnya.

 

Mohammad Ishom juga menyoroti kekurang seriusan dalam menjaga warisan para pendahulu. “Mau mencari buku karangan tahun 50-an saja mungkin kita akan kesulitan karena barangnya tidak ada. Apalagi mau mencari naskah yang usianya jauh lebih lama,” jelasnya.

 

Oleh sebab itu dirinya mengajak peserta Workshop Repositori Naskah Keagamaan Madura untuk melakukan reaktualisasi karya pendahulu. “Kita perlu ilmu-ilmu sosial, ekonomi dan ilmu lain yang baru dari para pendahulu,” tandasnya.

 

Sebelumnya, Kepala Balai Litbang Agama (BLA) Semarang, Samidi mengajak generasi saat ini untuk semakin bangga dengan khazanah yang diwariskan pendahulu. Justru dengan mempelajari warisan para ulama, maka solusi yang ditawarkan lebih aplikatif karena menyesuaikan dengan kondisi masyarakat sekitar.

 

“Tapi masalahnya, apakah kita mampu membaca dan memahami warisan dari para pendahulu?” kata mantan Sesditjen Pendis ini.

 

Karena untuk dapat memahami warisan para pendahulu harus dibekali dengan kemampuan pembacaan naskah yang memadai. “Di antaranya adalah harus bisa membaca huruf Jawa pegon, demikian juga Arab gundul dengan makna utawi iki iku seperti yang sudah menjadi budaya pemaknaan kitab di pesantren,” ungkapnya.

 

Ikhtiar yang sudah dilakukan oleh BLA Semarang Balitbang Diklat Kemenag adalah dengan mendigitalisasi sejumlah naskah yang ada. Keberadaan BLA Semarang sendiri membawahi sembilan provinsi meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

 

Workshop dijadwalkan empat hari, Selasa-Jumat (27-30/8) di Hotel Arcadia, Surabaya, Jawa Timur. Para peserta adalah pemilik naskah yang tersebar di empat kota di pulau Madura yakni Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Hadir pula sejumlah akademisi kampus dan Kemenag.


Pewarta: Ibnu Nawawi
Editor: Aryudi AR