Nasional

Najelaa Shihab Ungkap Tiga Miskonsepsi Penyebab Konflik Lintas Generasi

Jumat, 29 Oktober 2021 | 00:30 WIB

Najelaa Shihab Ungkap Tiga Miskonsepsi Penyebab Konflik Lintas Generasi

Pemerhati kesehatan mental Najelaa Shihab. (Foto: Instagram @najelaashihab)

Jakarta, NU Online
Dalam merayakan Sumpah Pemuda, pemerhati kesehatan mental Najelaa Shihab mengajak masyarakat merayakan keragaman latar belakang dan semangat persatuan pemuda Indonesia. Caranya dengan melawan tiga miskonsepsi yang menyebabkan konflik lintas generasi.


Pertama, kata Najelaa Shihab, pemuda masa kini kurang peduli terhadap sesame dan hanya memikirkan diri sendiri. Ini miskonsepsi pertama yang penting kita hentikan bersama.


“Sepanjang hari, ke mana pun saya pergi dan berbincang dengan murid maupun mahasiswa atau tim kerja di organisasi berbeda, saya bertemu dengan begitu banyak pemuda kritis yang terus mempertanyakan dunia,” tulis Najelaa dalam unggahan di akun Instagram-nya, @najelaashihab, Kamis (28/10/2021).


Kedua, lanjut Najelaa, pemuda sekarang hanya mencari yang secara instan bikin bahagia dan malas bekerja keras lagi.


“Kemalasan adalah ciri yang paling bertentangan dengan kemudaan. Pemuda bukan pemudah! Hampir semua anak muda yang menolak bekerja keras, adalah korban dari kurangnya tantangan,” tegas putri sulung Prof Quraish Shihab ini.


Ketiga, pemuda sekarang senang memamerkan prestasi dan selalu ingin dipuji. Kita coba ubah kalimat tersebut dengan ‘Pemuda sekarang butuh validasi dan dihormati’, hak dasar yang dimiliki oleh semua manusia sepanjang usia.


“Karena kemampuan mendengarkan dan menghormati butuh contoh lingkungan sehari-hari, bukan sekadar ekspektasi atau dinasihati,” jelas Ela, demikian biasa ia disapa.


Ia juga menyebutkan, sebagai pendidik yang tumbuh dan belajar bersama generasi Z (disebut juga iGeneration, GenerasiNet, Generasi Internet) sudah sepantasnya setiap individu memiliki kesadaran  bahwa setiap generasi punya gaya dan tantangannya sendiri, adalah keniscayaan sejak masa sebelum peradaban Yunani dan Romawi.


“Saya ingin mengajak semua guru, orang tua, paman dan bibi, om dan tante serta pimpinan di tempat bekerja untuk kembali berempati sekaligus melawan berbagai miskonsepsi itu,” seru Pendiri Sekolah Cikal itu.


Ia berpandangan, adanya perbedaan opini dan nilai atau beberapa hambatan dalam berkomunikasi merupakan siklus alami yang terus berlangsung antara yang lebih tua ke yang lebih muda, yang bukan saja tak bisa dihindari, tetapi juga amat penting dilalui.


“Setiap pemuda perlu mengukuhkan identitas diri dan membangun narasi tentang perjuangan generasi. Menggunakan cara yang berbeda (termasuk menjaga jarak bahkan memberontak) terhadap kemapanan apa pun dari generasi sebelumnya, adalah bagian dari ‘kemewahan’ sekaligus kewajiban peran semua pemuda bagi masyarakatnya,” tandas Najelaa.


Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Musthofa Asrori