Nasional

Jenis-jenis Penanganan Pasien Covid-19

Senin, 9 November 2020 | 07:00 WIB

Jenis-jenis Penanganan Pasien Covid-19

Penanganan pasien Covid-19 di rumah sakit diberlakukan jika pasien positif dan memiliki gejala. (Foto: Laely)

Jakarta, NU Online
Terdapat berbagai terapi yang mesti dilakukan terhadap pasien terkonfirmasi Covid-19. Terapi-terapi tersebut dipisahkan menjadi beberapa kategori, yakni pasien tanpa gejala atau asimtomatik, sakit ringan dan sedang, sakit berat, serta pasien Covid-19 dengan kondisi-kondisi tertentu.

 

Ketua Satuan Tugas (Satgas) NU Peduli Covid-19 Malang Raya, dr Syifa Mustika mengatakan pasien Covid-19 tanpa gejala tidak perlu dirawat di rumah sakit. Isolasi mandiri bisa dilakukan di rumah masing-masing selama sepuluh hari sejak terdiagnosa Covid-19.

 

Apabila pasien tersebut tidak memiliki penyakit penyerta maka cukup dengan mengonsumsi vitamin C karena telah terbukti berdasarkan hasil penelitian bahwa vitamin C dapat meningkatkan imun tubuh. Namun cukup dikonsumsi satu kali dalam sehari.

 

"Multivitamin, ramuan-ramuan, dan obat-obatan lain juga boleh dikonsumsi sesuai dengan gejala penyakit lain yang menyertai," ungkap dr Syifa yang juga berprofesi sebagai Dosen di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur saat mengisi Pelatihan Strategi Mitigasi Covid-19 di Pesantren, Ahad (8/11).

 

Selanjutnya, dokter spesialis penyakit dalam ini juga memberikan edukasi terhadap pasien tanpa gejala dalam menjalani isolasi mandiri. Beberapa yang harus dilakukan adalah tetap memakai masker dan mencuci tangan sesering mungkin.

 

"Kemudian harus juga dipastikan punya kamar sendiri. Kalau misalnya di pesantren berarti harus ada ruangan khusus agar tidak kontak dengan orang lain yang tidak karantina. Alat makan, baju, dan semua barang yang dipakai harus dicuci terpisah," ungkap dr Syifa.

 

Dijelaskan pula bahwa semua barang yang digunakan oleh orang terkonfirmasi positif Covid-19 bersifat infeksius. Oleh sebab itu harus dilakukan tata laksana sendiri. Selain itu, orang yang terkonfirmasi positif Covid-19 tanpa gejala juga harus terus berjemur dan terpantau kesehatannya setiap hari.

 

"Jadi, di pesantren harus ada satgasnya atau siapa pun yang bertugas untuk memantau kesehatan dari santri atau yang sedang menjalani isolasi. Nah yang dipantau adalah keluhan dan suhu tubuh. Gampang kok itu saja," jelasnya.

 

Tak hanya itu, sesuatu yang harus juga diperhatikan adalah lingkungan isolasi yang terdapat ventilasi. Jangan sampai di ruang isolasi tidak ada ventilasi sehingga sirkulasi udara tidak lancar. Hal itu justru memperlama proses penyembuhan.

 

"Cahaya juga harus masuk. Jangan pakai AC. Karena kalau AC sirkulasinya tidak bagus. Begitu virus masuk ke dalam ruangan akan mengendap dan malah bisa jadi sumber penularan. Kemudian kamar harus selalu dibersihkan dengan dipel dikasih disinfektan," ungkapnya.

 

Siapa pun yang kontak pasien Covid-19 harus pakai Alat Pelindung Diri. APD-nya tidak perlu pakai atribut seperti ‘astronot’ itu. "Tapi yang paling penting pakai masker, face shield, sarung tangan, atau kalau tidak punya nggak usah pakai sarung tangan tapi setelah kontak harus cuci tangan pakai sabun," jelas dr Syifa. 

 

Ia memaparkan jika pondok pesantren terdapat santri yang positif Covid-19 harus ditangani segera. Tentu saja mesti dibatasi agar tidak ada kontak langsung dengan orang luar. Kalau bisa, dr Syifa menyarankan, pesantrennya ditutup sementara waktu.

 

"Tapi kalau tidak ditutup maka tentukan ada area untuk ruang isolasi mandiri. Alat makan sendiri, cuci dengan sabun, pakai masker, tetap jaga jarak dengan orang yang tidak melakukan isolasi mandiri. Tolong aturan atau batasan ini dipahami," ungkapnya.

 

Edukasi bagi pasien Covid-19 yang sakit ringan

Sementara itu, dr Syifa juga menjelaskan terapi yang harus dilakukan bagi pasien Covid-19 yang sakit ringan atau ada keluhan lain seperti flu, batuk, dan demam. Namun, sama dengan yang tanpa gejala, pasien dengan sakit ringan juga tidak perlu dirawat di rumah sakit.

 

“Tapi cukup dengan melakukan isolasi mandiri minimal sepuluh hari ditambah tiga hari untuk memastikan sudah tidak Covid-19. Intinya rata-rata 14 hari, itu lebih aman. Kemudian diberi obat tambahan seperti Azitromisin,” katanya.

 

Di samping itu, dr Syifa menyebutkan beberapa obat antivirus seperti oseltamivir (tamiflu) atau kombinasi lopinavir ditambah ritonavir (aluvia) atau favipiravir (avigan) dengan dosis sesuai anjuran dokter.

 

Kemudian ada pula klorokuin fosfat atau hidroksiklorokuin yang dapat dipertimbangkan apabila pasien dirawat di rumah sakit dan tidak ada kontraindikasi. Lalu pengobatan simtomatis seperti parasetamol bila demam.

 

“Ini adalah penanganan yang kasus konfirmasi, yang sudah ada hasil swab dan dinyatakan positif Covid-19. Jadi boleh dikasih antivirus. Tapi kalau belum diswab tidak perlu minum obat antivirus,” jelas dr Syifa.

 

“Obat-obat antivirus ini harus dengan anjuran dokter. Jadi tolong berkonsultasi dengan dokter setempat. Mohon juga berkonsultasi dengan kami di Satgas NU. Kami siap membantu dan memberikan arahan untuk pengobatan,” tambahnya.

 

Edukasi bagi pasien Covid-19 yang sakit sedang atau ringan dengan penyulit

Dr Syifa juga menjelaskan penanganan terhadap pasien Covid-19 yang disertai dengan sakit sedang atau sakit ringan dengan penyulit. Seperti orang dengan penyakit diabetes dan gulanya tidak dikontrol, harus dirawat di rumah sakit karena harus ada pemantauan yang intens.

 

Sebab progresivitas Covid-19 ini berlangsung dengan sangat cepat. Jadi mungkin saja membutuhkan alat infus, pemantauan foto rontgen secara berkala, dan obat-obatan lain yang hanya akan diberikan melalui panduan dokter.

 

Obat-obatan yang akan diberikan adalah medikamentosa yaitu klorokuin fosfat dengan takaran 500mg per 12 jam untuk 5-7 hari atau hidroksiklorokuin di hari pertama dengan 400 mg per 12 yang selanjutnya dengan takaran 400mg per 24 jam. 

 

Sebagai alternatif, dapat diberikan levofloxacin yang dapat diberikan apabila curiga ada infeksi bakteri dengan kadar 750mg per 24 jam untuk 5-7 hari. Kemudian bisa ditambah dengan salah satu antivirus seperti oseltamivir 75mg per 12 jam selama 5-7 hari.

 

“Atau kombinasi lopinavir ditambah ritonavir (aluvia) 2x400/100mg selama 10 hari. Bisa juga favipiravir (avigan) loading dose 1600mg per 12 jam di hari pertama dan selanjutnya 2x600mg selama 2-5 hari atau remdesivir 200mg per 3 jam dilanjutkan 1x100mg per jam selama 9-13 hari,” jelas dr Syifa.

 

Edukasi bagi pasien Covid-19 yang sakit berat

Bagi pasien Covid-19 yang sakit berat sudah pasti harus melakukan isolasi dan perawatan penuh di rumah sakit. Sebab barangkali membutuhkan ventilator (alat bantu pernafasan) atau pemberian obat secara injeksi (infus). Hal tersebut perlu dipantau secara medis di rumah sakit.

 

“Jadi pengobatan (pasien Ccovid-19 sakit berat) sama dengan pasien sakit sedang. Bisa pula ditambah antibiotik sesuai kondisi klinis, fokus infeksi, dan faktor risiko pada kondisi sepsis (komplikasi berbahaya akibat infeksi) yang diduga kuat ada infeksi bakteri,” jelas dr Syifa.

 

“Kultur darah harus dikerjakan dan kultur sputum (pemeriksaan dahak untuk mendeteksi adanya bakteri penyebab infeksi saluran pernafasan) dapat menjadi pertimbangan,” imbuhnya.

 

Kemudian ditambah dengan obat-obatan seperti deksametason dengan dosis 6mg per 24 jam selama 10 hari atau kortikosteroid lain yang setara seperti hidrokortison pada kasus berat yang mendapat terapi oksigen atau kasus berat dengan ventilator.

 

Edukasi bagi pasien Covid-19 dengan kondisi tertentu

Kepada pasien Covid-19 dengan kondisi tertentu dapat diberikan antibiotic empirik secepatnya dalam waktu satu jam setelah dilakukan asesmen. Bagi pasien Covid-19 yang sedang hamil akan dilakukan terapi suportif dan disesuaikan dengan kondisi kehamilannya.

 

"Misalnya ketika lagi hamil atau mau melahirkan dan si ibu harus diswab kemudian hasilnya positif, maka kita akan lakukan terapi suportif sesuai kondisi bayinya,” ucap dr Syifa.

 

Penjagaan, penanganan, dan pengawasan juga harus dilakukan terhadap pasien Covid-19 yang sudah berusia lanjut. Di pesantren, kata dr Syifa, pasien-pasien ini berarti para pengasuh seperti kiai dan nyai yang sudah sepuh. 

 

"Nah mereka memerlukan pendekatan multidisipliner karena masalah multimorbiditas dan penurunan fungsional tubuh. Perubahan fisiologis terkait umur akan menurunkan fungsi intrinsik pasien seperti malnutrisi, penurunan fungsi kognitif dan gejala depresi,” katanya.

 

"Deteksi dini mengenai kemungkinan pemberian obat yang tidak tepat harus dilakukan untuk menghindari munculnya kejadian tidak diharapkan dan interaksi obat untuk pasien lanjut usia,” tambahnya. 

 

Secara ringkas, dr Syifa menjelaskan bahwa untuk pasien yang asimtomatik (tanpa gejala) bisa melakukan isolasi mandiri selama sepuluh hari dan minum multivitamin. Sementara untuk pasien sakit ringan harus menjalani isolasi mandiri sepuluh hari sejak muncul gejala ditambah dengan tiga hari bebas gejala, dengan disertai obat-obatan ringan sesuai panduan dokter.

 

"Tetapi kalau sakit sedang dan sakit berat atau kritis harus benar-benar dirawat di rumah sakit. Jangan menunda. Jangan sampai dari tahap ringan akhirnya jatuh ke tahap berat, karena dikhawatirkan kalau telat penanganan akhirnya membutuhkan tatalaksana yang lebih berat,” pungkas Konsultan Gastroenterohepatologi di RSUD dr Saiful Anwar ini.

 

Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Kendi Setiawan