Nasional

Gus Yahya: Kita Butuh Membangun NU sebagai Kapal Induk Besar

Kamis, 13 Juli 2023 | 12:00 WIB

Gus Yahya: Kita Butuh Membangun NU sebagai Kapal Induk Besar

Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf. (Foto: Dok. PBNU)

Jakarta, NU Online

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya menegaskan bahwa NU hari ini sudah berkembang begitu besar. Setidaknya kebesaran itu dapat dilihat dari jumlah jamaah NU yang tak kurang dari 150 juta. Jumlah ini didasarkan pada hasil satu lembaga survei tahun 2022, menyatakan bahwa 59,2 persen dari seluruh penduduk Muslim Indonesia mengaku NU. 


Semua jamaah itu harus diakomodasi melalui sebuah kendaraan untuk mengangkutnya. Kendaraan ini adalah sebuah majas atau analogi yang disampaikan Gus Yahya mengutip dari perumpamaan yang dikemukakan oleh salah satu pendiri NU, KH Abdul Wahab Chasbullah bahwa NU ini laiknya sebuah kendaraan. 


"Nah, kumpulan seperti ini masa diangkut pakai bentor kan gak mungkin. Hari ini kita butuh untuk membangun NU ini sebagai kapal induk yang ukurannya memang besar tapi juga punya kemampuan yang besar," katanya saat silaturahim bersama PCNU dan MWCNU se-Madura, Rabu malam (12/7/2023) di Bangkalan.


Dalam mengendarai kendaraan, kapal besar dengan kapasitas penumpang yang sangat banyak, pertama yang harus dipastikan adalah mesin. Sebuah mesin harus benar-benar berfungsi sebagaimana mestinya.


"Kalau sepeda motor itu bisa jalan kalau sudah pas tempatnya, letaknya karburator pas, letaknya busi itu juga pas, dan nyambungnya satu sama lain juga pas. Kalau gak nyambung, ya gak bisa jalan. Apalagi ini kapal induk yang besar," ungkapnya.


"Ini saya kira tamsil (contoh) yang mudah dipahami terkait keadaan NU sekarang ini," lanjut Gus Yahya.


Namun demikian, Gus Yahya menyebut bahwa kapal itu sampai sekarang masih belum bisa dijalankan. Karena elemen dan bagian-bagian mesin masih tercecer, belum tersambung antara bagian satu dengan yang lainnya. Sebuah kapal hanya berada di garasi menjadi sebuah pemandangan yang hanya memanjakan mata orang ketika melihatnya.


"Menurut saya dan teman-teman, dalam pengamatan kita, dalam kesimpulan kendaraan NU ini selama ini belum bisa jalan ke mana-mana. Ini cuma jadi kendaraan yang dongkrok di garasi. Kalau ada orang lewat ditawar, tapi belum bisa dipakai ke mana-mana. Kenapa belum bisa dipakai ke mana-mana? Karena mesinnya, onderdilnya kocar-kacir belum terpasang," terangnya.


Karena itu, Gus Yahya mengakui bahwa di antara pekerjaan besar yang terlewat oleh PBNU adalah menata mesin dan merangkai semua elemen mesin agar bisa tersambung sehingga dapat berfungsi, kapal pun bisa dijalankan.


"Nah maka yang ingin dilakukan PBNU sekarang ini kita ngomong dulu soal menata mesin ini supaya nyambung lagi, kita urai dulu ini karburator, ini busi, ini rantai dan seterusnya. Lalu kita pasang lagi. Ini memang bukan pekerjaan kecil, ini mesin kapal induk," tuturnya.


Gus Yahya menjelaskan, yang dikerjakan PBNU menyangkut sekurang-kurangnya dua hal yang mendasar. Pertama adalah susunan mesin itu sendiri dipastikan sudah terpasang dengan benar sehingga kapal bisa berjalan.


"(Dalam hal ini), kalau di organisasi menyangkut tata laksana organisasi, aturan-aturannya norma-normanya, hubungan antara bagian dengan bagian yang lain, dan sebagainya," ucapnya.


Kedua, lanjut Gus Yahya, soal prilaku dari operator-operatornya. "Kalau itu bentor satu supir sudah cukup. Tapi kalau kapal induk itu krunya bisa ribuan orang. Nah prilaku orang-orang yang ngoperasikan kapal induk ini juga harus benar dan ini menyangkut kebiasaan-kebiasaan," ungkapnya. 


Menurut Gus Yahya, kebiasaan-kebiasaan itu bisa dibangun melalui kegiatan-kegiatan yang dirutinkan. Kalau ini bisa dilakukan, maka akan membentuk cara berpikir dan akan membentuk kedisiplinan.


"Nah di dalam organisasi berarti kita harus membangun pola kegiatan. Apa saja kegiatan yang perlu dirutinkan supaya membentuk cara berpikir kita semua," tuturnya.


Karena NU ini wadifah-nya pertama-tama adalah umat atau jamaah, lanjut Gus Yahya, maka yang harus dibangun adalah cara berpikir dari seluruh operator bahwa tujuan keberadaan sebuah kapal (NU) semata untuk memberikan kemaslahatan kepada umat.


"Panjenengan ini semua operator, cara berpikirnya pertama-tama adalah bagaimana memberikan maslahat kepada umat. Kalau mendirikan perguruan tinggi itu harus tertanam betul, tersambung betul cara berpikirnya bagaimana nanti akan memberikan maslahat kepada umat," ucapnya.


"Jangan sampai kita membuat kegiatan ini dan itu, mendirikan ini itu hanya untuk membesar-besarkan, memberi kesan besar kepada organisasi untuk sekadar dibangga-banggakan saja. Tidak boleh," tegas Gus Yahya melanjutkan.


Untuk itu, pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Thalibin Leteh, Rembang ini menyatakan, dirinya dan segenap pengurus di PBNU menginginkan terbentuknya pola pikir semua pengurus NU (operator) di lintas kepengurusan hanya bermuara untuk memberikan nilai manfaat kepada umat. 


"Ini yang harus kita kembalikan lagi cara berpikir yang fokus kepada mashalih lil ummah. Itulah sebabnya PBNU membuat program Gerakan Keluarga Maslahat NU, yang sebagian besar isinya diarahkan kepada kegiatan-kegiatan yang melibatkan warga," tandas Gus Yahya.


Pewarta: Syamsul Arifin