Internasional

Yenny Wahid: NU dan Muhammadiyah Bendung Arus Ekstrem Kanan

Kamis, 27 Juni 2019 | 16:30 WIB

Yenny Wahid: NU dan Muhammadiyah Bendung Arus Ekstrem Kanan

Peserta diskusi di PCINU Jerman.

Berlin, NU Online 
Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Jerman bekerjasama dengan KBRI Berlin menyelenggarakan bincang santai dengan mengangkat tema Menjaga Kebhinekaan, Ahad (23/6). Acara yang dilaksanakan di Aula KBRI Berlin menghadirkan putri sulung Presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid, Yenny Wahid sebagai pembicara.

Acara yang dihadiri tidak hanya masyarakat Indonesia yang menetap di Berlin, namun juga dari beberapa kota lain di Jerman, diawali dengan sambutan dari Rais Syuriyah PCINU Jerman Syaeful Fatah. Dalam sambutannya, Fatah secara umum menyampaikan ucapan terimakasih kepada KBRI Jerman dan juga peserta yang hadir atas terselengaranya kegiatan tersebut.  

Bincang santai ini juga dihadiri oleh Duta Besar RI untuk Jerman, Arif Havas Oegroseno, yang sekaligus memandu acara. Mengaitkan dengan tema yang diangkat, dalam pandangannya, Oegroseno menjelaskan terkait gelombang esktrem kanan yang terjadi di Eropa.

"Di Jerman dan Eropa ada gelombang baru ekstrem kanan yang menjadi faktor yang cukup mengkhawatirkan di pemerintahan Jerman sendiri. Memang pendulum ke arah ekstrem kanan terjadi di Eropa, dan kita harapkan tidak terjadi di Indonesia," katanya.

Yenny Wahid, yang juga salah satu pendiri Wahid Foundation, mengawali seminar dengan menggambarkan dinamika masyarakat Indonesia setelah pilpres dan pemilu serentak. Menurutnya banyak informasi di media sosial terkait pilpres yang belum jelas sumber kebenarannya yang dapat menimbulkan keterbelahan di masyarakat.

"Problemnya adalah kita belum cukup menumbuhkan imunitas digital, sehingga kita bisa melihat ini (berita) benar atau tidak," tuturnya.

Yenny juga menambahkan agar anak-anak menerapkan pola berpikir kritis. "Anak-anak kita harus diubah cara belajarnya. Ke depan harus diajari bahwa apa yang mereka lihat belum tentu betul. Mereka harus diajari untuk selalu mempertanyakan sumber keabsahan suatu hal yang mereka terima," kata Yenny.
 
Yenny memaparkan kondisis ekstremisme berdasarkan survei dari Wahid Foundation. Terdapat 0,4 persen dari populasi Indonesia pernah melakukan tindakan radikal; 7,7 persen ingin melakukan tindakan radikal, akan tetapi 74 persen menolak tindakan radikal. Menurut Yenny, dua faktor yang berkolerasi langsung dengan tindakan radikal adalah perasaan kuputusasaan dan sering terpapar dengan hate speech atau ujaran kebencian.  
 
Untuk menangkal isu radikalisme, Yenny mencontohkan NU dan Muhammadiyah yang telah membangun counter narasi dan counter identity di tengah masyarakat. "Jadi, Islam yang tidak hanya ideologis, akan tetapi Islam yang memberikan ruang bagi hak minoritas, persamaan hak, toleransi dan perdamaian, pentingnya pendidikan, serta rasionalistas. Ini semua adalah counter narasi yang pernah dilakukan oleh NU dan Muhammadiyah, sehingga identitasnya terbangun," ujar Yenny.

Menurut Yenny counter identity secara nasional adalah melalui Pancasila. "Pancasila menjadi jawaban dari persoalan ekstremisme dan intoleransi yang sekarang kita hadapi karena di dalam Pancasila sudah ada nilai-nilai kandungan dari setiap agama yang bisa menyatukan warganya," pungkasnya. (Muhammad Husein Alkaff/Kendi Setiawan)