Internasional

Tak Hanya Hijab, Tajikistan Juga Larang Sejumlah Tradisi Muslim Lainnya

Kam, 27 Juni 2024 | 18:30 WIB

Tak Hanya Hijab, Tajikistan Juga Larang Sejumlah Tradisi Muslim Lainnya

Bendera negara Tajikistan. (Foto: Freepik)

Jakarta, NU Online

Tajikistan menjadi sorotan internasional usai majelis tinggi parlemen Tajikistan, Majlis Milli, menyetujui undang-undang yang melarang penggunaan hijab dan atribut keagamaan lainnya di sekolah-sekolah dan tempat kerja.

 

Undang-undang yang baru disahkan pada 19 Juni 2024 ini berpotensi memperluas larangan hingga ke tempat publik. Hal ini dinilai ironi sebab Tajikistan berpenduduk mayoritas beragama Islam.


Larangan ini didasarkan pada alasan melindungi nilai-nilai budaya nasional dan mencegah ekstremisme serta tahayul. Pemerintah Tajikistan mewajibkan perempuan untuk mengenakan pakaian nasional.


Melansir Euro News, selain larangan terhadap hijab, UU ini juga mencakup larangan terhadap tradisi lokal seperti Iydgardak, yang merupakan tradisi bagi-bagi uang saat Idul Fitri, serta membatasi panjang janggut pria.


"Undang-undang serupa yang disahkan awal bulan ini juga berdampak pada beberapa praktik keagamaan, seperti tradisi berusia berabad-abad yang dikenal di Tajikistan sebagai "Iydgardak," di mana anak-anak pergi dari rumah ke rumah untuk mengumpulkan uang saku pada hari raya Idul Fitri," lapor Euro News, dikutip Kamis (27/6/2024).


Pelanggaran terhadap undang-undang ini bisa mengakibatkan denda mulai dari 7.920 Somoni Tajikistan atau sekitar Rp12 juta untuk pelanggar individu. Sementara itu, pelanggar dari kalangan pejabat pemerintah dikenakan denda sekitar 39.500 Somoni atau Rp87 juta.


Keputusan ini menjadi sorotan lantaran Tajikistan, negara dengan mayoritas Muslim sekitar 96 persen dari total populasi, telah mengambil langkah yang bertentangan dengan kepercayaan mayoritas penduduknya.


Presiden Tajikistan, Emomali Rahmon, yang telah memerintah negara ini selama lebih dari tiga dekade, dikenal dengan kepemimpinan otoriter dan tangan besi, termasuk penghapusan batas masa jabatan presiden pada tahun 2016 dan larangan terhadap partai politik berbasis agama.


Langkah-langkah ini menunjukkan kecenderungan Tajikistan menuju pemerintahan sekuler, yang berbeda dengan tren di beberapa negara Muslim lainnya di Asia Tengah.