Daerah HARI SANTRI 2018

Ada Upaya Desakralisasi Santri

Senin, 22 Oktober 2018 | 12:00 WIB

Jember, NU Online
Ketua PCNU Jember, KH Abdullah Syamsul Arifin menegaskan bahwa sebutan untuk nomenklatur yang menjadi khasanah pesantren semakin lama semakin mudah disematkan. Misalnya, kata-kata santri, saat ini terasa begitu mudahnya sebutan tersebut dilekatkan kepada seseorang, yang boleh jadi dia tak ada bau-bau pesantren sedikitpun.

Padahal untuk disebut  santri, harus punya sejarah kesantrian, misalnya dia keluarga pesantren, pernah di pesantren atau mengeyam  pendidikan seperti di pesantren.

“Untuk  dikatakan  santri itu ada sejarahnya. Tidak setiap orang  yang karena berpenampilan seperti santri, misalnya, lantas disebut  santri. Santri ada historinya,” tekasnya kepada NU Online di sela-sela Upacara Peringatan Hari Santri 2018 di lapangan Kampus II Universitas Islam Jember (UIJ), Jalan Tidar, Sumbersari, Jember, Jawa Timur, Senin (22/10).

Begitu juga dengan sebutan Gus. Istilah yang satu ini semakin lama semakin  mudah disematkan  pada sosok tertentu. Padahal, dulu panggilan  Gus hanya diberikan  kepada anak kiai. Gelar Gus biasanya tak berdiri sendiri namun terkait dengan nasab (keturunan) keluarganya.  Paling tidak, kalau nasabnya tidak nyambung, dia santri, atau dari kalangan pesantren, atau pernah menjadi ustadz.

“Sekarang gelar Gus dan santri begitu mudah disematkan.  Hemat saya, ini ada upaya desakralisasi santri dan Gus. Lho kalau semua orang  bisa disebut Gus dan santri, kan nanti  tidak ada bedanya antara Gus dan santri yang asli, sehingga Gus tidak sakral lagi” urainya (Red: Aryudi AR)