Risalah Redaksi

Buzzer dan Keterbelahan Masyarakat

Sabtu, 12 Oktober 2019 | 13:15 WIB

Buzzer dan Keterbelahan Masyarakat

Buzzer berusaha menaikan citra figur yang diusungnya, sementara di sisi lain mendiskreditkan lawan, dengan hoaks, disinformasi, termasuk isu SARA.

Penusukan terhadap Menkopolhukam Wiranto yang terjadi di Menes, Pandeglang, Banten, Kamis (10/10), menjadi perbincangan ramai di media sosial. Yang menarik, terdapat dua arus besar menanggapi kejadian tersebut. Pertama, kelompok yang mengutuk tindakan penyerangan yang diduga dilakukan oleh salah anggota jaringan JAD ini. Kelompok kedua adalah orang-orang yang nyinyir. Mereka menilai bahwa kejadian tersebut adalah settingan untuk tujuan tertentu.
 
Jika kita telusuri ke belakang, pengelompokan ini menguat sejak kampanye Pilpres 2019. Mereka yang nyinyir kebanyakan adalah orang-orang yang menjadi oposisi pemerintahan dengan beragam alasannya, baik alasan ideologis atau sekadar perebutan kekuasaan. Ini berarti, sekalipun kontestasi pilpes yang keras tersebut telah berakhir, keterbelahan sikap masyarakat masih terjadi. Nyinyir adalah bagian dari kekecewaan yang diekspresikan di media sosial. 
 
Tidak ada kawan abadi dan musuh abadi dalam politik. Karena itu perubahan sikap sangat mudah dijumpai di kalangan para politisi di Indonesia sejauh kepentingan mereka bertemu. Yang sebelumnya tampak bertarung mati-matian kini tampak akrab. Tetapi kelompok di akar rumput yang sebelumnya bertarung habis-habisan membela calonnya belum mampu melupakan persoalan tersebut. Hal ini terutama pada kelompok yang memiliki orientasi ideologi yang berbeda yang kebetulan pada pilpres lalu memiliki kesamaan kepentingan. 
 
Keterbelahan masyarakat ini salah satunya didorong dan diperkuat oleh para buzzer. Mereka bergerak secara masif menyebarkan propaganda guna mempengaruhi sikap masyarakat. Jargon-jargon dibuat dalam beragam bentuk yang menarik untuk memperkuat pandangan atau meragukan pandangan lawan. Dunia internet bukanlah tempat di mana orang mampu merenung dan bersikap kritis. Ini adalah tempat di mana orang berkelompok berdasarkan kesamaan pandangan karena algoritmanya mengatur demikian. Dunia maya adalah sebuah pertarungan untuk memperebutkan isi kepala masyarakat. Buzzer berusaha menaikan citra figur yang diusungnya, sementara di sisi lain mendiskreditkan lawan, dengan hoaks, disinformasi, termasuk isu SARA.  
 
Jika segregasi ini tersebut terus dipelihara, maka Indonesia akan menjadi negeri yang terbelah. Yang masyarakatnya tidak percaya satu sama lain. Kebenaran adalah milik kelompoknya sedangkan pihak seberang, apapun yang dilakukannya dianggap buruk sekalipun hal tersebut sesuatu yang baik. Kondisi seperti itu juga sangat mudah diprovokasi untuk melakukan tindakan-tindakan kekerasan. Bahkan lebih buruk lagi, upaya-upaya untuk menjalankan program yang baik dihambat agar kinerja terlihat buruk sehingga di masa pemilihan yang akan datang rakyat beralih ke kelompoknya.
 
Di luar aspek polarisasi yang terjadi, aparat keamanan harus mengusut tuntas kejadian penusukan tersebut dengan menelusuri pelaku dan kemungkinan adanya orang-orang yang ada di belakangnya. Belakangan, ancaman terhadap stabilitas nasional meningkat seperti tertangkapnya orang dosen di perguruan tinggi negeri yang menyiapkan bom untuk menggagalkan rencana pelantikan presiden. Kelompok-kelompok radikal tersebut akan terus melakukan berbagai cara untuk merongrong jalannya pemerintahan. 
 
Kerja-kerja yang dilakukan pihak keamanan sudah cukup bagus. Banyak rencana tindakan kekerasan yang berhasil digagalkan. Bukan hal yang mudah untuk mengawasi dan menggagalkan rencana-rencana yang berpotensi menimbulkan jatuhnya korban dan kepanikan masyarakat ini. Tetapi terus saja, muncul anggota baru yang siap melakukan hal yang sama. Karena itu pendekatan keamanan saja tidak cukup mengingat hal tersebut menyangkut ideologi yang dipercayai, dan kemudian diperjuangkan dengan segala cara, termasuk dengan cara-cara kekerasan.
 
Gerakan ideologis tersebut cukup masif dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Di lingkungan kampus, mereka merekrut para mahasiswa yang selanjutnya menjadi kader yang memperjuangkan ideologinya di tempat mereka beraktivitas. Baru-baru ini, seorang polwan ditangkap karena terpapar ajaran radikal. Ini menunjukkan radikalisme juga telah menyebar di lingkungan aparat keamanan. Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu juga menyebutkan sekitar 3 persen anggota TNI terpapar radikalisme.  
 
Politik adalah sebuah kontestasi rutin yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali. Bagi masyarakat yang sudah matang dalam berdemokrasi, maka ketika ajang pemilu sudah selesai, maka semuanya kembali kepada kehidupan normal, yaitu bergelut dengan rutinitasnya masing-masing. Namun pada masyarakat yang belum matang, maka perbedaan pandangan politik bisa menimbulkan perpecahan antarkeluarga atau kelompok. Berbeda pilihan politik dianggap sebagai sebuah pengkhianatan. Bagi kelompok tertentu, perjuangan politik dianggap sebagai perjuangan agama. 
 
Selanjutnya, kepemimpinan bukan sekadar soal keberhasilan menjalankan program-program yang direncanakannya, tetapi juga bagaimana mendapatkan penerimaan dari rakyat. Bagi kelompok yang tidak suka dengan pemerintah, maka apapun yang dilakukan dianggap salah. Sementara apapun yang dilakukan oleh kelompoknya dibela mati-matian. Tak mudah untuk mengambil hati seluruh rakyat dengan latar belakang yang sedemikian beragam. Upaya untuk mengambil simpati seluruh rakyat perlu dilakukan, sekalipun tak mungkin pula memuaskan kepentingan semua kelompok. Maka tugas pemerintah terpilih adalah menjalankan program yang sudah dikampanyekan sesuai dengan aturan yang ada.  
 
Para cendekia sudah seharusnya membantu mengedukasi dan memberi pencerahan kepada publik; bahwa saat ini adalah waktunya untuk bekerja bersama membangun Indonesia; bahwa radikalisme harus dicegah; bahwa warganet harus belajar bersikap kritis di dunia maya. Cara yang paling mudah juga melalui media sosial karena saluran inilah yang paling populer digunakan oleh siapa saja. Jangan sampai dunia maya dan media sosial dikuasai oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. (Achmad Mukafi Niam)