Opini

Memupuk Imajinasi, Menuai Kreasi

Kamis, 30 Mei 2019 | 19:01 WIB

Memupuk Imajinasi, Menuai Kreasi

ilustrasi: brilio.net

Oleh Syakir NF
 
Pendidikan menjadi proses yang tidak berhenti. Sebab, manusia bersifat dinamis, terus mengalami perubahan yang tidak akan pernah usai sampai ia mengembuskan nafas terakhirnya.
 
Tak ayal, hal yang paling fundamental dalam kehidupan ini mesti direncanakan dengan matang agar proses itu terus menuju kebaikan dan dilakukan dengan penuh kebaikan pula sebagaimana yang diungkapkan oleh Ralph W Tyler. Ia mengungkapkan bahwa langkah pertama dalam membangun pendidikan adalah membuat tujuan yang bakal dicapai.
 
Selanjutnya, pendidikan harus memberikan pengalaman sebanyak mungkin untuk kemudian dikelola menjadi suatu pelajaran, mana yang patut diterapkan dan mana yang hanya sebagai pengetahuan tanpa perlu dilaksanakan. Terakhir, kata Tyler, pendidikan harus ada evaluasi. Demikian guna melihat kembali kekurangan dan kelebihan langkah yang telah dijalani sehingga dapat diiketahui hal apa yang mesti dipertahankan, ditingkatkan, atau bahkan tidak lagi dilakukan demi efektifitas.
 
Perkembangan zaman juga menuntut manusia terus berkembang. Perubahan yang begitu cepat tidak lagi menghendaki manusia untuk lamban. Jika demikian, ia akan tertinggal jauh. Pasalnya, jarak diputus habis oleh teknologi masa kini. Kita memasuki dunia tanpa batas. Semua orang bisa mengetahui apapun, di manapun, dan kapanpun dalam waktu saat itu juga. Hal ini pula yang membuat orang begitu mudah terpengaruh dengan apa yang ia lihat.
 
Tak ayal, kemajuan teknologi membuat identitas semakin samar. Diskursus dari atas ke bawah begitu berpengaruh. Namun, narasi kecil dari bawah juga mestinya bisa mengemuka. Teknologi memungkinkan itu semua terjadi. Tetapi belum terdengar nyaring di telinga bangsa sampai saat ini. Kemungkinan besar, kekalahan narasi itu karena belum masifnya promosi dan kurangnya dukungan tenaga, baik materil maupun imateril.
 
Sebab, pendidikan tidak hanya yang ada di ruang kelas. Segala sesuatu yang mengemuka juga harus mendidik. Film, misalnya, yang kerap kali mengambil judul berbahasa Inggris. Hal ini tentu memengaruhi pola pikir masyarakat kita, sedikit ataupun banyak. Ia masuk begitu saja tanpa kita sadari. Hal demikian tak jarang luput dari perhatian.
 
Milenial juga selalu berduaan dengan gawainya. Rasanya, tak bisa hidup jika di tangannya tak tergenggam makhluk yang entah kenapa dibentuk kotak itu. Sebab, mereka merasa bisa menemukan segalanya di sana. Sampai-sampai mereka tak terasa jika imajinasi mereka terkurung oleh layar. Idealisme mereka tak bebas dan realitas pun terbatas. Maka tak aneh jika kreatifitas semakin langka. Kemajuan mandeg. Ia berhenti di persimpangan. Sementara golongan tua, masih berpikiran kolot, tak mengakomodasi kemauan muda-mudi. Disparitas pun semakin tinggi. Kesenjangan makin menjadi.
 
Maka, menurut Ahmad Tohari, salah satu sastrawan Indonesia, imajinasi bangsa, warga muda harus dibangkitkan lagi dengan dimulai dari hal yang paling sederhana, yakni bercerita. Laku demikian sudah jarang lagi kita temui. Dalam pandangannya, dongeng dapat meningkatkan imajinasi seseorang. Pencerita dapat membuat deskripsi yang sedemikian rinci sehingga pendengar dapat membangun imajinasinya dengan utuh. Cerita mengasah pendengar untuk terus mengembangkan potensinya dalam membangun imajinasi.
 
Lama kelamaan, pendengar itu akan mencari sendiri bagaimana pembangunan imajinasi itu diproses, artinya pembuatan ceritanya. Ia pun akan membaca. Imajinasinya akan semakin tajam mengingat tulisan tidak memberi gambaran yang pasti. Gambaran yang sesungguhnya, ada di benak pembaca tersendiri. Bangunan itu tentu saja akan berbeda di benak pembaca mengingat pengalaman yang melatarinya berbeda pula.
 
Dilan, misalnya. Kita tentu berdebat tentang sosok tokoh utama dalam film. Sebab, bagi mereka yang sudah lebih dulu membaca novelnya, imajinasi mereka tentang sosok Dilan bukanlah Iqbal. Atau Milea, bukanlah seorang Vanesha.
 
Dunia literasi kita minim. Sebuah penelitian di Amerika Serikat menyebut Indonesia menjadi satu negara dengan literasi yang paling rendah di antara 62 negara. Hanya berada satu tangga di atas Botswana, sebuah negara di Afrika bagian Selatan.
 
Saya tidak bermaksud membenarkan penelitian itu. Saya sejujurnya juga tidak yakin dengan validitas penelitian itu. Bukan tanpa alasan. Sebab, Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya bahasa, kaya aksara, dan kaya manuskrip. Hal ini sebetulnya menjadi tanda bahwa bangsa kita sejak dulu itu melek literasi. Hanya saja medianya tergantikan dengan adanya gawai dan ketiadaan arah bacaan bagi mereka.
 
Entah karena tidak diarahkan bacaannya, atau memang karena informasi kekerabatan mereka anggap lebih penting sehingga generasi milenial ini lebih suka membaca pesan Whatsapp misalnya, ketimbang membaca referensi. Pesan Whatsapp langsung mengarah pada pesan. Ia monotafsir dan tidak imajiner sehingga membatasi ruang pikir pembacanya. Maka, di sini sisi pentingnya sastra. Ia tidak saja memberi hiburan dengan ceritanya, bukan sekadar guna mengisi waktu luang, tetapi membangun pondasi imajinasi agar ke depannya lebih mudah dalam menyusun tumpukan ide menjadi sebuah rumah bagi alam pikir kita.
 
Selain berdampak pada kurangnya membaca, pembangunan imajinasi yang minim juga membuat maraknya orang lebih suka menonton video. Parahnya, vidio yang mereka lihat juga hanya berkisar satu menit dengan melalui media sosial Instagram. Mudah bosan menjadi karakter lain warga yang lahir di akhir dekade abad 20 itu. Demikian menjadikan mereka tidak mengetahui secara tuntas tentang informasi yang disampaikan sehingga menimbulkan pemahaman yang tidak paripurna. Karena itu, muncullah opini yang merupakan tambahan dari suatu fakta yang kebenarannya patut dipertanyakan. Sebab, hal yang diceritakan dari video singkat hanyalah sebuah penafsiran tanpa metode, spontanitas belaka. Tak aneh timbul fitnah, menyebarnya hoaks, dan sebagainya.
 
Akibatnya, bukan saja perang kata-kata di dunia maya, tetapi juga ada kontak fisik di dunia nyata. Keresahan di dunia maya juga mengganggu psikis. Kita tentu tidak bisa mendiamkan narasi media sosial dikuasai oleh diskursus dualisme, adu domba, atau oposisi biner yang menyebabkan benturan. Membagikan berita provokatif sama dengan mengadu domba kelompok yang silang pendapat itu. Diam bukan berarti membela. Diam, kata pepatah, bisa merupakan sebuah emas.
 
Hal ini diperparah dengan adanya simplifikasi agama oleh masyarakat perkotaan. Penyederhanaan ini berdampak pada suatu hukum fiqih yang terasa amat sangat saklek. Padahal, fiqih memiliki berbagai macam varian hukum yang bisa kita pilih sesuai konteks, dengan tetap mengindahkan talfiq sebagai suatu yang tidak diperbolehkan. Setiap sesuatu hanya terdiri dari dua warna yang bertentangan. Tidak demikian mestinya. Dampaknya terjadi pada fanatisme terhadap satu sisi dan merendahkan sisi yang lain. Tak ayal, ada bentrok pada bagian ini. Milenial pun terbawa arus sehingga jika tidak menjadi bulan-bulanan, dia juga yang turut memukuli habis mereka.
 
Demo yang katanya membela agama itu sebagian banyak pelakunya para milenial yang hanya mengikuti arus. Kreatifitas, nalar kritis, dan imajinasi mereka terputus oleh doktrinasi. Doktrin mestinya justru bisa membuka tiga hal tersebut lebih luas lagi. Sebab, mereka dipaksa untuk memilih satu hal, tidak biasa menghadapi banyaknya varian.
 
Kembali ke disparitas antara golongan tua dan muda, X dan Y atau bahkan dengan Z. Di antara harus dibangun jembatan agar kembali tersambung. Pendidikan menjadi satu jalan yang mampu menghubungkannya. Jembatan ini harus terdiri atas dua bahan pokok utama dari tiga generasi ini, seperti, cerita dari masa lalu yang harus difasilitasi dengan gaya terkini. Agar hal lama tidak ditinggalkan oleh masa kini, dan orang dulu juga tidak khawatir dengan masa depan mereka yang bakal lebih banyak terhantam identitasnya.
 
Oleh karena itu, mulai saat ini, mari kita bangun imajinasi dengan membiasakan diri menjadi pendengar yang baik. Selanjutnya, membaca menjadi langkah kedua kita. Kemudian, mulailah membangun ide, kreatifitas, gagasan demi kemajuan bangsa di masa depan.
 

Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta


Terkait