Opini

Kisah Seorang Santri: Ditulis dari Kairo

Senin, 22 Oktober 2018 | 05:30 WIB

Kisah Seorang Santri: Ditulis dari Kairo

Usman Arrumy (Foto: istimewa)

Tahun 2006 saya matur kepada bapak saya untuk minta dipondokkan di Yai Wahid Zuhdi, bapak saya terkesan agak kaget manakala mendengar itu karena tahu kalau saya termasuk golongan ‘ndableg’ menurut ukuran yang tidak umum. Bapak saya kemudian bilang.

"Bapak tentu bahagia mendengar kamu minta mondok, terlebih di pondok Yai Wahid, kebahagiaan bapak bukan karena beliau teman mondok bapak sewaktu di Sarang, tapi yang buat bapak agak heran, kenapa kamu memilih pondoknya Yai Wahid?”.

"Aku ingin alim seperti Yai Wahid," jawab saya datar.

“Iya sudah, mangkat Ahad besok apa Rabu depan?” tanya bapak.

ndereake.”

Saya teringat, dalam kitab Ta’limul Muta’alim, diterangkan bahwa waktu terbaik untuk berangkat belajar kalau tidak Ahad ya Rabu. Pendek kata, hari Rabu saya diantar ke Bandungsari, Grobogan. Selama masuk desa sudah terbayang betapa hari-hari ke depan saya akan menjalani kehidupan yang jauh dari suasana kota, suasana tandus yang akan menjadikan saya berjuang dengan tingkat yang ekstra untuk ‘kerasan’.

Sebelumnya saya belum pernah tahu letak geografis dari pondok yang kemudian saya tahu bernama Al-Ma’ruf itu, pertimbangan saya satu-satunya mengapa saya berangkat ke situ adalah Yai Wahid. Maka tibalah saya sekeluarga di ndalemnya Yai Wahid. Setelah bapak saya dan Yai Wahid ngobrol lama, barulah saya—kalau istilah pesantren, dimaturke. 

Saya teringat, Yai Wahid memanggil lurah pondok bernama Pak Sokhi. “Ini, Usman ditaruh di kamar yang jauh dari Masjid dan dekat dengan tempat wudhu," dawuh Yai Wahid kepada pak Sokhi. 

“Kenapa begitu, Yi?” Bapak saya menyela.

“Kalau semakin jauh dari Masjid kan langkah untuk menuju Masjid semakin banyak. Nah, kalau langkah semakin banyak, maka pahalanya juga banyak," timpal Yai Wahid sambal tersenyum.

Lalu Pak Sokhi membimbing saya menuju kamar yang dimaksud. Dan sampailah saya di kamar i2.

Setelah menghantarkan saya, bapak saya berpesan menjelang beliau masuk mobil. 

“Kalau bisa kamu menawarkan diri untuk membantu keperluan Yai Wahid. Apa saja.”.

Kini tiba-tiba saya hampir menitikkan airmata, bahwa Yai Wahid begitu memperhatikan santri barunya dengan pertimbangan Fikih. Tiap kali saya mengingat kembali peristiwa itu, mata saya selalu hampir kuyup. Perhatian Yai Wahid kepada santrinya antara lain ketika suatu pagi saya dipanggilnya ke Ndalem, saya bergegas sambil gugup lantaran baru kali ini dipanggil, dan Kang Santri yang disuruh beliau bilang untuk cepat.

Sampai di ndalem, Yai Wahid sudah menerima beberapa tamu, dan sedang daharan

Mriki, Gus," panggil Yai Wahid sambil melambaikan tangannya ke arah saya. Sementara itu, Yai Wahid mengambil piring dan menyiduk nasi beserta lauknya.

“Ini Gus, lauk buatanku sendiri, gorengan telur campur mie. Bahasa kotanya Omelete Noddle,” dawuh Yai Wahid sambil menyodorkan sepiring nasi.

Ya Ampun. Saya gemetar menyaksikan peristiwa itu, saya hampir tak kuasa menggerakkan tangan untuk menerimanya. Satu-satunya yang dapat menggerakkan tangan saya adalah lantaran saya sadar betul bahwa saat itu saya sedang lapar-laparnya. Di titik itulah kini saya teringat kalau kenakalanku waktu itu masih begitu jelas tergambar. Saya lahap sekali makan karena 'aji mumpung', mumpung lapar, mumpung lauknya Yai Wahid sendiri yang memasak, dan mumpung-mumpung yang lain.

Maka ketika Yai Wahid melihat piring di depanku ludes, beliau mengambilnya dan menciduk nasi lagi beserta lauknya untuk kemudian diletakkan di depanku. Dan itu terulang sampai tiga kali. Dan tiap kali Yai Wahid menambahi nasinya, saya semakin lahap. Saya tahu bahwa sejak piring pertama habis, sebenarnya saya sudah kenyang, namun ini aji mumpung. 

Seminggu kemudian saya pulang, ketika mau pamit Yai Wahid sedang tindakan. Saya matur bapak kalau saya sudah tidak kerasan, saya ingin pindah. Raut muka bapak saya ketika itu memerah. 

Dua tahun kemudian, di suatu hari pada malam Selasa—kalau tidak salah ingat, saya bermimpi. Yai Wahid mengenakan pakaian Ihrom di seberang jalan. Yai Wahid melambaikan tangan sambil tersenyum ke arah saya. 

Kejadian itu mengingatkan saya terhadap seseorang yang hendak berangkat haji, saya masih teringat dalam mimpi itu saya berpikir mengapa ya, Yai Wahid memakai Ihrom dan dada-dada ke arah saya. Saya bersedih seperti ketika waktu kecil saya melepas orangtua saya berangkat haji.

Tepat Seminggu kemudian, hari selasa siang, Syarifah Nikmah, Rembang, menemui saya di Kaliwungu, dan mengabari kalau Yai Wahid sudah 'sedo' seminggu lalu. Saya seketika tercenung. Apakah mimpi saya seminggu lalu itu pertanda kalau Yai Wahid hendak berpamitan? Saya menitikkan airmata. Bagaimana mungkin, waktu saya bermimpi dan waktu ketika Yai Wahid sedo, terjadi di hari yang sama? Mataku kuyup oleh luh, berkunang-kunang.

*** 
Saya mondok di Djagalan tak seberapa lama untuk ukuran santri serius, hanya 10 tahun secara akumulasi, sebab ada era di mana saya sempat mbalelo tidak berangkat mondok dan hanya main-main saja di rumah. Saya tak termasuk golongan santri yang dalam kehidupannya di pesantren upyek terhadap kitab melulu, saya lebih sering cangkrukan di warung kopi. 

Ketika bapak saya mengantarkanku ke pondok Djagalan untuk pertama kalinya—setelah setahun mangkrak di rumah, beliau hanya berpesan; 

“Kamu aku antarkan di pondok sini, terserah mau ngapain. Ngaji atau tidak itu urusanmu. Aku Cuma bertanggung-jawab memberi uang saku terhadapmu. Tapi satu yang harus kamu pegang dan harus kamu jalani, yaitu jangan sampai su’u dzon terhadap putra-putrinya Mbah Dim, apalagi kepada Mbah Dim sendiri. Jangan sampai, jangan sampai, jangan sampai. Kalau sampai kamu berprasangka buruk terhadap keluarga ndalem, aku tidak ridho sampai akhirat”

Begitulah pesan satu-satunya bapak saya ketika mengantarkanku mondok di Djagalan. Sebagai bocah berusia 12 tahun, saya kira hal itu pesan yang wajar-wajar saja dan mudah untuk saya jalani, namun dalam perjalanan saya di Djagalan, hari demi hari, saya baru merasa kalau pesan bapak tersebut justru menjadi sesuatu yang sangat sulit untuk dihindari.

Saya pernah mbatin; ini Kiai, tapi kok mobilnya sak arat-arat—BMW, Alphard, Jeep Wrangler, Ford Ranger, dan mbuh merek apa lagi.’’ Astaghfirullah. 

Hingga suatu hari saya tercengang ketika mobil BMW yang tiap hari terparkir di depan ndalem tersebut digunakan hanya untuk ngangkut gabah. Dan mobil Ford Ranger hanya digunakan untuk ngangkut ikan bandeng. Saya tersentak oleh sesuatu yang dulu saya unen-uneni.

Saya dinasehati tidak dalam bentuk kata-kata atau bahkan fatwa sekalipun, namun saya dinasehati oleh kejadian. Seolah-olah Mbah Dim tahu benak saya sehingga harus memberi edukasi dengan cara memperlihatkan bahwa semua dunia yang tampak ini hanya ada di telapak tangan, tidak berada di dalam hati.

Pesan bapak satu-satunya itu tiba-tiba terngiang. 

Rasa-rasanya, tirakatku waktu di pondok dulu tidak poso mutih atau ngaji atau bahkan ngerowot entah apa lagi dawud (karena memang Abah melarang untuk itu), namun tirakat saya adalah berjihad untuk tidak berprasangka buruk terhadap keluarga ndalem.

Saya tak terlalu yakin kalau poso atau tiap sesuatu yang saya lakoni selama di pondok itu bisa diterima. Oleh karenanya, harapan saya sebagai santri hanya agar tirakatku dalam menolak su'u dzon kepada keluarga ndalem, terutama kepada Abah bisa diterima pahalanya. 

Kenapa bapak saya lebih memprioritaskan untuk menolak su'u dzon dan tidak menyuruh saya agar berusaha untuk selalu husnu dzon? Belakangan saya baru meyakini kalau itu berdasarkan kaidah fikih, Dar'ul mafasid muqoddimi ala jalbil masolih. Menolak keburukan lebih diutamakan dari mengambil kebaikan.

Bapak saya mungkin sudah mengetahui perangaiku yang selalu melibatkan rasionalitas terhadap setiap hal--- saya sejak kecil orang yang suka ngeyel soalnya, itu sebabnya bapak berpesan begitu teguh terhadap saya seperti itu.

Pada suatu malam jum'at kliwon, ketika sedang persiapan istighosah, saya ikut mengangkut kardus berisi minuman mineral di belakang ndalem. Karena kardus masih banyak dan harus cepat tertata, maka saya dan kawan-kawan santri meletakkannya dengan susunan yang tak tertata rapi.

Ketika saya meletakkan kardus dengan buru-buru dan karenanya susunan kardus itu ambruk, Abah keluardari dalam ndalem dan dawuh: ''noto kardus wae ora pecus, ngono kok meh noto masyarakat''. Saya tertunduk.

Tahun 2011, kelas tiga Aliyah, hari pertama masuk sekolah, hari senin, ada pelajaran ilmu Falak—astronomi, yang mengajar Pak Ahmad. Saya tidur di kelas, Pak Mad membangunkan dan menyuruh saya berdiri dengan satu kaki selama tiga jam.

Setelah itu, saya semacam punya trauma sehingga tiap hari senin saya selalu mencari celah agar terhindar dari ancaman ‘berdiri dengan satu kaki’. Dan tempat paling aman adalah di depan ndalem sepuh, pura-pura sowan Mbah Dim.

Tiap hari senin saya punya rutinitas duduk-duduk di depan ndalem, soalnya para pengurus tidak berani ngoyaki santri yang berada di zona aman. Dan tiap kali Mbah Dim bertanya ada keperluan apa, saya Cuma menjawab ingin salim. Dan itu berlangsung selama setahun tiap hari senin.

Belakangan saya mendapat ilmu dari Habib Umar Mutohar—barangsiapa yang pernah bersalaman dengan orang yang bersalaman dan bersalaman dengan orang yang salaman hingga Rasulullah, maka ia seperti bersalaman dengan Kanjeng Nabi. 

من صافحنى او صافح من صافحنى الى يوم القيامة دخل الجنة

Barangsiapa yang berjabat tangan kepadaku atau berjabat tangan kepada yang pernah berjabat tangan denganku hingga hari kiamat maka masuk syurga.

Demikianlah kisah singkat saya selama berada di Pondok, selama menjadi santri. Kini, kalau ada satu harapan yang harus saya perjuangkan mati-matian, itu adalah agar saya diakui santri oleh KH. Dimyati Rois dan KH. Wahid Zuhdi. (Usman Arrumy)


Kairo, 22 Oktober 2018


Terkait