Opini

Hari Santri Milik Seluruh Eleman Bangsa

Selasa, 23 Oktober 2018 | 11:00 WIB

Oleh RM. Armaya Mangkunegara

Istilah ‘Hari Santri’ dikenalkan pasca dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015. Kurang lebih setahun sejak Ir. H. Joko Widodo – Dr (Hc)., Drs. HM. Jusuf Kalla terpilih pada pemilu tahun 2014. Maka wajar jika penetapan Hari Santri juga kerap dikaitkan dengan janji politik pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Terlepas perdebatan antara janji politik maupun bukan, secara faktual Ir. H. Joko Widodo selaku Presiden Republik Indonesia telah menetapkan keputusan tentang Hari Santri. Tentu, penuangan ‘Hari Santri’ pada keputusan Presiden memiliki implikasi yang luas. Terutama dalam konteks pemberlakuan peraturan perundang-undangan.

Secara yuridis, mencermati ketentuan Pasal 100 UU Nomor 12 Tahun 2011 (UU 12/2011), terdapat Keputusan Presiden (Keppres) yang bersifat mengatur (regeling) di samping pada bentuk dasarnya yang bersifat menetapkan (beschikking). Keppres Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri berisi penetapan tanggal 22 Oktober sebagai ‘Hari Santri’. Sehingga jelas bahwa Hari Santri ditetapkan melalui produk peraturan perundang-undangan yang sah dan sesuai ketentuan yang ada.

Inisiasi Hari Santri
Konsideran menimbang huruf c Keppres tentang Hari Santri secara gamblang menguraikan latar belakang tanggal 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri. Setidaknya, pada tanggal itu pernah terjadi peristiwa berharga bagi bangsa Indonesia, tepatnya tanggal 22 Oktober 1945 yang resmi diserukan “Resolusi Jihad” oleh KH Hasyim Asy’ari (pendiri NU) agar para ulama, santri di seluruh penjuru tanah air melakukan upaya membela tanah air dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Mencermati landasan dalam Keppres tersebut, tentu bukan semata-mata dimaknai keberpihakan negara kepada warga Nahdliyin. Esensinya lebih memandang makna “Resolusi Jihad” bagi bangsa dan negara Indonesia. Siapa pun yang menyerukan. 

Bahkan, pembahasan mengenai penentuan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri juga melibatkan sedikitnya 13 (tiga belas) ormas Islam. Meskipun akhirnya Muhammadiyah tidak turut menandatangani kesepakatan 22 Oktober sebagai Hari Santri dengan alasan kekhawatiran polarisasi.

Dipungkiri maupun tidak, KH Hasyim Asy’ari sangat identik dengan NU. Sebagai pendiri NU sekaligus penyeru Resolusi Jihad yang akhirnya digunakan sebagai dasar penentuan Hari Santri, banyak kalangan yang mengidentikkan Hari Santri adalah milik warga NU. Benarkah demikian? Tentu perlu dilihat dari berbagai aspek. 

KH Hasyim Asy’ari adalah ulama besar sekaligus sebagai cendekiawan muslim yang berkontribusi mengantarkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Beliau rela mengorbankan tenaga, pikiran, maupun harta demi bangsa dan negaranya. 

Ia tokoh bangsa Indonesia, bukan lagi tokoh yang hanya dimaknai inklusif milik warga NU. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 294 Tahun 1964 tanggal 17 November 1964, Pemerintah RI menganugerahi KH Hasyim Asy’ari gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Hal ini sebagai bukti legitimasi ketokohan dan kontribusi beliau pada Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Domain Negara, Milik Seluruh Bangsa
Sejak ditetapkan, tepatnya pada tanggal 15 Oktober 2015, Keppres tentang Hari Santri resmi berlaku dan secara yuridis memiliki akibat hukum. Satu di antara akibat hukumnya, melalui kewenangan eksekutif yang dimiliki, Presiden selaku kepala pemerintahan yang menetapkan Hari Santri melalui produk hukumnya memposisikan peringatan hari santri tidak lagi hanya milik salah satu golongan, melainkan milik seluruh rakyat Indonesia.

Secara yuridis normatif, nampak pada konsideran mengingat Keppres tentang Hari Santri yang menunjuk Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Hal ini bermakna bahwa Presiden dalam menetapkan Hari Santri berkedudukan sebagai kepala pemerintahan.

Implikasinya, Hari Santri merupakan domain Negara Republik Indonesia dengan beragam elemen masyarakat dan agamanya. Selayaknya, momentum peringatan Hari Santri Nasional tidaklah dianggap polarisasi antargolongan, khususnya warga Nahdliyyin.

Sebaliknya, kiprah yang dilakukan oleh NU baik secara kelembagaan maupun kultural dalam memeringati Hari Santri Nasional haruslah dimaknai khidmah. Patuh pada keputusan yang dibuat oleh ulil amri. Seharusnya, elemen bangsa Indonesia baik secara institusional maupun noninstitusional pemerintahan turut serta dalam upaya suksesi peringatan hari santri tersebut. Selain sebagai kepatuhan, juga sebagai bentuk apresiasi terhadap jasa pahlawan dalam mempertahankan kemerdekaan.

Ada beberapa makna yang terkandung dari penetapan Hari Santri oleh Presiden. Pertama, terdapat proses ‘nasionalisasi’ Hari Santri pada sistem pemerintahan Republik Indonesia. Dalam hal ini, juga berarti rekognisi (pengakuan) eksistensi santri oleh negara.

Kedua, dari sudut pandang edukasi, nilai sejarah-nasionalisme yang terkandung pada peristiwa seruan Resolusi Jihad merupakan pendidikan moral yang luar biasa. Pelajaran bagaimana seyogianya menjadi generasi muda bangsa Indonesia.

Ketiga, dari sisi budaya, ciri khas santri dengan segala macam tradisinya merupakan kekayaan budaya bangsa Indonesia. Sekaligus sebagai penunjuk budaya asli turun – temurun yang kita miliki. Jauh sebelum Republik Indonesia merdeka. Budaya santri tidak lagi bersifat inklusif, santri dengan nasionalitas yang dimilikinya, terbuka secara luas untuk menunjukkan eksistensi dan kiprahnya bagi bangsa dan negara.

Mengenai polarisasi, secara faktual dalam Keppres tentang Hari Santri tidak memberikan definisi santri secara khusus. Demikian halnya pada produk hukum lain. Definisi santri masih beragam dari sudut pandang tata bahasa maupun peristilahan teknis. Oleh karena itu, diskursus pada tulisan ini tidak jauh mengurai mengenai definisi santri.

Beragam uraian di atas, sebenarnya penulis menekankan supaya tidak terlampau berstigma bahwa hari santri hanya milik NU. Santri dengan keragaman definisinya merupakan elemen bangsa Indonesia. Peringatan Hari Santri Nasional adalah ‘hajat bersama’ yang perlu dilestarikan demi mewujudkan persatuan dan kesatuan. Selamat Hari Santri Tahun 2018.


Penulis adalah advokat di Lembaga Bantuan Hukum LBH) Wali Songo




Terkait