Internasional

Nuansa Puasa Ramadhan di Maroko

Kamis, 26 Juli 2012 | 02:23 WIB

Tangier, NU Online
Negeri Maroko biasa dikenal dengan sebutan Maghrib (Negeri Matahari terbenam). Negeri ini pernah dijajah oleh Perancis dan Spanyol. Agama Islam di negeri ini menjadi agama resmi bagi masyarakatnya, walaupun sebenarnya masih nampak beberapa bangunan Gereja yang berdiri megah di beberapa kota terbesar, seperti Tangier, Cassablanca, dan Rabat. 
<>
Mayoritas umat Islam di negeri ini menganut Madzab Maliki baik dalam berfiqih maupun ber-ushul. Bahkan Amirul mukminin (julukan Raja Maroko) memfatwakan untuk mengikuti satu mazhab, yaitu Mazhab Maliki. Walaupun demikian, masih ada juga sebagian masyarakat Maroko yang mengikuti Mazhab Hanbali seperti kebanyakan masyarakat kota Tangier (kota sebelah utara Maroko). 

Begitu juga dalam itsbat (penetapan) awal dan akhir Ramadhan, masyarakat muslim Maroko selalu menunggu keputusan Raja. Jadi, tidak ada istilah perbedaan penetapan Ramadhan seperti layaknya umat Islam di Indonesia. Biasanya, Maroko selalu tidak pernah bersamaan dengan Saudi Arabia dalam penetapan awal dan akhir Ramadhan. 

Berbicara soal Puasa Ramadhan di Maroko, nuansanya memang sangat berbeda dengan di tanah Air. Apalagi Ramadhan tahun ini bertepatan dengan musim panas yang waktu siang harinya sangat panjang -/+ 17 jam, hingga menu sahur dan berbuka yang cukup beraneka ragam. Jamuan makan terbagi menjadi empat “ronde”. Ini menjadi tradisi di setiap keluarga. Tidak hanya santapan berbuka dan sahur saja sebagaimana lazimnya di Indonesia. Namun, ada santapan makan malam yang dilaksanakan antara (selepas) berbuka puasa dan (sebelum) sahur. Tradisi ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat kelas menengah ke atas, tapi juga hampir berlaku bagi semua lapisan masyarakat Maroko dengan menu yang tidak jauh berbeda.

Ronde Pendahuluan

Di Maroko hanya sebagian kecil saja masjid yang menyediakan futur (makanan untuk berbuka puasa) kepada para jamaahnya. Tidak seperti marak terdapat di masjid-masjid negara bagian Teluk seperti Qatar, Kuwait, Saudi dan negara-negara gudang minyak lainnya itu.

Sebagai “pendahuluan” di rumah masing-masing, ketika adzan Maghrib berkumadang, Muslimin Maroko buru-buru menelan beberapa butir kurma dan menengguk air putih secukupnya, hanya sekedar untuk membatalkan puasa. Kemudian mereka pun bergegas ke Masjid untuk menjalankan ibadah salat maghrib secara berjamaah.

Bahkan banyak pula yang beberapa menit menjelang adzan Maghrib mereka sudah berada di Masjid untuk menunggu Maghrib tiba, dan membawa “bekal” beberapa butir kurma dan sebotol air putih.

Ronde Kedua

Selepas shalat Maghrib itu, mereka buru-buru bergegas kembali ke rumah untuk menikmati hidangan khas Maroko. Selain kurma, dalam “tahap kedua” ini, menu wajibnya bagi orang Maroko adalah terdiri dari : Subaikiyah (manisan khas Maroko yang terbuat dari tepung dengan campuran gula dan madu) atau juga manisan sejenis, yang menurut lidah orang Indonesia sangat kuat manisnya.

Roti tawar kering makanan pokok Maroko pun turut dihidangkan dalam tahap kedua ini, berikut mentega atau madu atau sejenisnya sebagai pasangannya. Termasuk milwi, makanan khas Maroko yang terbuat dari terigu bentuknya agak sedikit mirip dengan martabak (di Indonesia). Dilengkapi pula dengan beberapa butir telur rebus sesuai porsi masing-masing. Sedangkan menu wajib adalah Khariroh (sop khas Maroko) yang terbuat dari kacang khumus, bawang, tomat, telur, dan aneka rempah-rempah, kadang juga dicampur sedikit daging dan jeroan.

Bisa dipastikan, tidak ada orang Maroko dalam berbuka puasa yang melewatkan sop bernama khariroh ini. Bahkan saking dibanggakannya khariroh ini oleh orang-orang Maroko, sehingga dianggap sebagai menu istimewa dan khas di hotel-hotel dan restoran mewah sekali pun. Termasuk banyak dijual di warung-warung khariroh dalam kemasan instant, mudah saji.

Tak ketinggalan teh yang dicampur daun na'na dan khalib (susu), juga juice buah dan kadang kopi susu (sesuai selera). Menu tersebut, bagi porsi perut orang Indonesia, adalah sudah melebihi kapasitas. Nah, di tahap jamuan kedua ini, orang Maroko barulah menyebutnya dengan "Berbuka puasa". Ternyata “menu jamuan” ronde kedua tersebut belum cukup. Masih ada segudang menu lainnya.

Ronde Ketiga

Tarawih di Maroko dijadikan dua putaran, 8 rakaat sehabis jamaah shalat isya, dan tarawih putaran kedua satu jam, menjelang adzan Subuh. Tarawih putaran pertama selesai pada pukul 22.30. Satu jam selepas tarawih putaran pertama itu, yaitu antara pukul 23.30 -24.30, mereka kembali ke meja makan yang umumnya bersama keluarga masing-masing di rumah. Dan memang tradisi orang Maroko – di luar Ramadhan pun - adalah makan selalu bareng bersama keluarga.

Orang Maroko pun tak kenal istilah “Buka puasa bersama”  baik itu di kantor-kantor atau di instansi tertentu dengan rekan kerja seperti marak di Indonesia itu. Otomatis banyak restoran yang omsetnya menurun di bulan Ramadhan ini. Di tahap ketiga ini, mereka menamainya dengan “makan malam”, tentu saja dengan menu yang berat-berat sebagaimana layaknya hidangan makan malam atau makan siang di luar bulan Ramadhan.

Apalagi di bulan Ramadhan ini, tak jauh beda dengan di Indonesia , orang-orang mengutamakan menu makanan istimewa. Sehingga di Maroko pun harga sembako naik saat-saat bulan Ramadhan. 

Ronde Keempat

Makan Sahur, bagi orang Maroko dianggap kurang begitu penting. Kita pun bisa membayangkan, mulai selepas salat Maghrib, aneka makanan dilahapnya. Tentu saja membuat perut masih kenyang.

Bagi orang Maroko, sahur itu umumnya mereka lakukan pada pukul 3.00, sebelum mereka bergegas ke masjid untuk melaksanakan salat tarawih putaran kedua sebagaimana dikatakan di atas tadi. Sahur bagi mereka sekadar untuk melaksanakan ibadah sunnah (sahur). Cukup dengan meminum beberapa gelas susu, air putih, dan makanan ringan dari kue-kue kering khas Ramadhan Maroko. Bahkan banyak sekali orang Maroko yang sering melewatkan makan sahur begitu saja karena masih kekenyangan.

Keunikan malam Lailatul Qadar

Fenomena malam Lailatul Qadar tentunya tak kalah heboh bagi Masyarakat Maroko. Di sana kegembiraan menyambut malam seribu bulan bak menyambut tamu agung. Cowok dan cewek mengenakan jalabah (busana muslim tradisional Maroko, sejenis jubah atau gamis dengan penutup kepala).

Tingkat modifikasi jalabah berbanding lurus dengan harga yang bisa  mencapai ratusan dollar Amerika. Jalabah biasanya dikenakan pada tanggal-tanggal ganjil akhir bulan (25, 27, dan 29 Ramadhan) untuk wara-wiri dari masjid ke masjid. Momen ini dimanfaatkan banyak fotografer untuk mencari rezeki. Tak sedikit pengguna jalabah ingin diabadikan dengan kilatan kamera.

Ketika Ramadhan sampai pada malam ke-27, orang Maroko biasanya mengadakan ritual khusus, yaitu berjaga malam di masjid-masjid dengan melakukan sholat-sholat sunnah hingga fajar untuk mengejar lailatul qadar. Bahkan, kadang mereka membawa bekal makan sahurnya ke masjid itu.


Kontributor: Muannif Ridwan, mahasiswa Delegasi PBNU  di Univ.Imam Nafie, Tangier-Maroko  


Terkait