Fragmen

KH Hasyim Asy’ari Menentang Politik Administrasi Guru oleh Belanda

Senin, 25 November 2019 | 07:15 WIB

KH Hasyim Asy’ari Menentang Politik Administrasi Guru oleh Belanda

Hadhratussyekh KH Hasyim Asy'ari. (NU Online)

Menempa diri dalam pencarian ilmu di Makkah tidak lantas membuat Hadlratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947) alpa terhadap keadaan dan kondisi bangsanya. Keilamuan agama ia perdalam di tanah hijaz dan banyak berguru dari ulama kelahiran Nusantara di Makkah seperti Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Mahfudz Termas, Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi, Syekh Yasin Al-Fadani, dan ulama-ulama lainnya.

Sebutan Hadhratussyekh sendiri menggambarkan bahwa ayah KH Wahid Hasyim tersebut merupakan mahaguru, mahakiai. Bahkan, Muhammad Asad Syihab (1994) menyebut Kiai Hasyim dengan sebutan al-‘Allamah. Dalam tradisi Timur Tengah, istilah tersebut diberikan kepada orang yang mempunyai pangkat keulamaan dan keilmuan yang tinggi.

Namun, seperti disebutkan di awal, meskipun Kiai Hasyim Asy’ari mumpuni dalam ilmu agama, tetapi ia tidak menutup mata terhadap bangsa Indonesia yang masih dalam kondisi terjajah. Kegelisahaannya itu dituangkan dalam sebuah pertemuan di Multazam bersama para sahabat seangkatannya dari Afrika, Asia, dan juga negara-negara Arab sebelum Kiai Hasyim kembali ke Indonesia.
 

Pertemuan tersebut terjadi pada suatu di bulan Ramadhan, di Masjidil Haram, Makkah. Singkat cerita, dari pertemuan tersebut lahir kesepakatan di antara mereka untuk mengangkat sumpah di hadapan “Multazam”, dekat pintu ka’bah untuk menyikapi kondisi di negara masing-masing yang dalam keadaan terjajah.

Isi kesepakatan tersebut antara lain ialah sebuah janji yang harus ditepati apabila mereka sudah sampai dan berada di negara masing-masing. Sedangkan janji tersebut berupa tekad untuk berjuang di jalan Allah SWT demi tegaknya agama Islam, berusaha mempersatukan umat Islam dalam kegiatan penyebaran ilmu pengetahuan serta pendalaman ilmu agama Islam.

Komitmen tersebut KH Hasyim Asy’ari wujudkan dengan mendirikan pusat pembelajaran ilmu-ilmu agama yaitu pondok pesantren di daerah Tebuireng, Jombang pada tahun 1899. Saat itu, seketika pendidikan berbasis agama berkembang pesat di Indonesia. Hal ini menimbulkan resistensi Belanda. Kolonial menilai bahwa pendidikan berbasis agama yang dilakukan oleh para guru (kiai dan ulama) menjadi ancaman bagi eksistensi penjajah sehingga perlu diawasi dengan ketat.
 

Dari kegelisahan tersebut, Belanda berusaha melakukan pengawasan terhadap semua guru yang melakukan pengajaran melalui semacam sertifikasi dari pemerintah Hindia Belanda yang disebut Ordonansi Guru. Dalam sistem ordonansi tersebut, semua guru (kiai, ulama) yang melakukan pembelajaran harus memiliki izin. Kebijakan Ordonansi Guru ini dikeluarkan oleh Belanda pada tahun 1905.

Di Pondok Pesantren Tebuireng yang didirikannya, KH Hasyim Asy’ari harus izin pemerintah setempat yang terafiliasi dengan pemerintah kolonial sebelum melakukan pengajaran. Kebijakan tersebut cukup menghambat syiar dari seorang guru agama yang selama ini berjalan dengan baik dan progresif walaupun tanpa administrasi yang sifatnya politis itu.

Menurut regulasi yang menyasar tanah Jawa dan Madura kala itu, seorang guru agama harus memiliki keterangan mengajar atau izin tertulis sebelum dia mengajar. Bukan hanya itu, tetapi setiap guru agama harus mengetahui daftar mata pelajaran dan nama murid-muridnya agar dapat dikontrol.
 

Kebijakan ini tentu saja menghambat praktik pembelajaran setiap harinya karena guru harus membuat perizinan yang prosesnya tidak mudah. Para guru agama saat itu melihat kebijakan ini sebagai upaya menghambat perkembangan pembelajaran agama. Apalagi Ordonansi Guru juga ditujukan oleh Belanda kepada tokoh agama dan para guru agama yang selama ini menentang pemerintahan kolonial.

Kalangan pesantren yang sejak dahulu berkembang pesat dalam proses pembelajaran agama menentang keras kebijakan Ordonansi Guru Hindia-Belanda. Meskipun Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) kala itu belum dideklarasikan, tetapi KH Hasyim Asy’ari dan para ulama pesantren getol mendorong penghapusan kebijakan tersebut. Bersama sejumlah Ormas Islam yang lebih dulu lahir, ulama pesantren berhasil membuat Belanda memperlunak kebijakan Ordonansi Guru pada tahun 1925 yang isinya hanya mewajibkan guru-guru agama untuk memberitahu bukan meminta izin.

Namun, upaya melunakkan diri terhadap kebijakan tersebut justru dilakukan oleh Belanda untuk memperluas Ordonansi Guru dari hanya Jawa dan Madura ke berbagai daerah seperti Sumatera. Dengan memperluas kebijakan tersebut, secara otomatis Belanda mendapatkan perlawanan lebih luas lagi. Selain Jawa dan Madura, Ordonansi Guru juga mendapat perlawanan di Sumatera sehingga akhirnya kebijakan ini gagal pada tahun 1928.
 

Kendati gagal menerapkan Ordonansi Guru pada 1928 di luar Jawa dan Madura, pemerintah kolonial memperkenalkan Ordonansi Sekolah Liar (Wildeschoolen Ordonantie) yang dikeluarkan pada 1 Oktober 1932 pada zaman Gubernur Jenderal de Jonge untuk mengendalikan sekolah-sekolah swasta. Penolakan ordonansi sekolah liar tersebut meluas, tidak terbatas pada kelompok Muslim, tetapi juga kelompok atau organisasi lain yang menyelenggarakan sekolah swasta.

Penolakan berbagai kalangan, mulai dari organisasi Islam moderat sampai kelompok Islam konservatif, terhadap sertifikasi ulama, menurut Kahin mengulang sejarah bahwa kalangan tradisionalis dan modernis, kelompok konservatif dan kelompok moderat bekerja sama menentang kebijakan pemerintah tersebut (ordonansi guru). Bersatunya kelompok-kelompok Islam tersebut juga dicatat oleh Choirul Anam dalam Pertumbuhan dan Perkembangan NU (2010).

Ordonansi Guru dan sekolah liar yang diperluas pada sekolah-sekolah swasta pada 1932 berdampak pada meredanya perdebatan soal khilafiyah antara kelompok pembaharu dan NU. Terlebih lagi ketika kemudian diketahui bahwa Ordonansi Guru tidak hanya berlaku bagi pembatasan tugas guru agama atau muballigh saja, tetapi juga berlaku bagi penempatan Bupati beserta bawahannya di Jawa dan kepala adat di mana saja berwenang mengatur urusan agama Islam.

Dengan kata lain diberikan wewenang oleh Belanda untuk mengatur urusan agama padahal menurut Choirul Anam, mereka kurang paham bahkan buta terhadap hukum-hukum Islam. Memandang kebijakan Ordonansi Guru oleh Belanda itu, NU menyadari bahwa bidang pendidikan umum berbasis Islam seperti madrasah perlu diperkuat. Hal ini ditindaklanjuti dengan membentuk lembaga pendidikan NU yang diberi nama Lembaga Pendidikan Ma’arif NU pada perhelatan Muktamar ke-13 NU di Menes, Banten pada 11-16 Juni 1938.
 

Keinginan NU untuk mengembangkan dan memajukan pendidikan semakin terlihat ketika Muktamar ke-14 NU di Magelang, Jawa Tengah pada 15-21 Juli 1939. Salah satu keputusan yang menjadi kesepakatan bersama ulama NU ialah menuntut kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mencabut Ordonansi Guru 1925 guna melepas ikatan pengajaran Islam dari penyempitan peraturan pemerintah kolonial.

Poin penting lain ialah bahwa di masa kolonial, guru adalah profesi yang dihormati. Berserikat dan berkumpul setidaknya sudah dilakukan guru-guru pribumi sejak 1912. Di tahun tersebut, Perserikatan Goeroe Hindia Belanda (PGHB) berdiri. Sekitar tahun 1932, PGHB pun mengganti namanya menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI).

Darmaningtyas dalam Pendidikan Rusak-rusakan (2005) mencatat, pada masa pendudukan Jepang, para guru tak bisa berkumpul. Semua organisasi profesi dilarang. Organisasi profesi guru hidup lagi setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dalam Kongres Guru Indonesia 25 November 1945 di Surakarta, dibentuklah sebuah organisasi guru dengan semangat negara merdeka, namanya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Tanggal tersebut kemudian diperingati sebagai Hari Guru Nasional.
 

Beberapa tahun kemudian, Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) lahir. Ensiklopedia Nahdlatul Ulama (2014: 200) menjelaskan bahwa secara organisasi, Pergunu dibentuk dari hasil Konferensi Lembaga Pendidikan Ma'arif NU pada tahun 1952.  Konferensi merekomendasikan untuk membentuk organisasi guru NU. Selanjutnya, Ma'arif NU Surabaya yang diberi mandat untuk membentuknya berhasil mendirikan PC Pergunu Surabaya pada 1 Mei 1958.

Setelah melalui proses yang cukup panjang, Pimpinan Pusat Persatuan Guru NU berhasil dibentuk pada 14 Februari 1959 dengan Ketua Umum Bashori Alwi. Kongres pertamanya diadakan pada 17-20 Oktober 1959 yang diikuti 27 cabang dan Bashori Alwi kembali terpilih sebagai ketua umum.

Pada 1968, Pergunu di Jawa Timur berhasil memperjuangkan 20.000 anggotanya menjadi guru negeri di Departemen Agama. Namun, organisasi ini surut setelah Pemerintah Orde Baru menyatukan berbagai organisasi profesi guru ke dalam PGRI. Namun pada era reformasi, Pergunu mulai aktif kembali sebagai salah satu organisasi profesi guru. Pergunu bersama organisasi profesi guru lainnya di Indonesia berkomitmen kuat meningkatkan kualitas dan kesejahteraan guru-guru di Indonesia, terutama guru-guru swasta.

Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Abdullah Alawi