Daerah

Puasa, Melatih Ruh Manusia Kenal Dzat Allah SWT

Senin, 8 Agustus 2011 | 00:06 WIB

Brebes, NU Online
Puasa Ramadhan, bisa menjadi ladang persemaian melatih diri mengenal dzat Allah SWT. Terutama melatih ruh yang senantiasa terombang-ambing oleh berbagai godaan duniawiyah. Dimana kesibukan aktivitas masing-masing individu kerap dihinggapi karakter hewani maupun setan lebih kuat.

Hal tersebut disampaikan pengasuh pesantren Assalafiyah Luwungragi Bulakamba Brebes KH Subekhan Makmun dalam perbincangan dengan NU Online di kediamanya, kompleks pesantren Ahad (7/8). <>

Pengenalan diri kepada Dzat Allah SWT akan mempengaruhi pola jalan kehidupan manusia, pada jalan yang diridloi-Nya. Pasalnya, manusia punya karakter binatang biasa, binatang buas, setan bahkan malaikat. “Semua karakter tersebut dimiliki manusia. Lalu, mana yang lebih kuat akan menuntun jalan ke mana arah yang ditempuh,” jelasnya.

Bila yang kuat karakter hewan biasa, maka yang lebih dipentingkan adalah perutnya, makanannya dan kebutuhan kelaminnya. Bila karakter binatang buas tidak hanya perut dan kelamin yang jadi target tetapi juga punya keinginan menguasai dan menyakiti teman.

Beda lagi dengan karakter setan, yang selalu berbuat buruk, penipuan, manipulasi keadaan, menjerumuskan manuasia agar menjadi temannya di neraka. Dan kadang manusia memiliki karakter malaikat yang selalu patuh pada perintah Allah SWT.

“Sayangnya, karakter malaikat jarang melekat di sanubari manusia. Karakter setan masih kuat melekat karena hari-hari sebelumnya hanya tergoda dengan mengikuti rayuan-rayuan setan,” uraiannya.

Lewat puasa Ramadhan, manusia dilatih ruhnya untuk menahan emosional, menghindari kemaksiatan, menahan makan dan minum meskipun milik dirinya yang halal. “Aturan ditegakan dengan kesadaran diri tanpa harus diawasi,” papar suami dari Hj Laelatul Munawaroh Al Hafidzoh.

Malam tidak tidur, lanjutnya, yang diisi dengan sholat malam, dzikir, tadarus, itikaf adalah upaya menghindari rayuan setan. “Dengan mengurangi tidur, mendekati sifat malaikat,” ujarnya.

Menurut Kiai Subekhan, puasa era kini tidak lagi menyentuh orang kelaparan karena jarang dijumpai orang yang mati kelaparan. Di akhir Ramadhan dengan menunaikan zakat fitrah pun sudah menjawab mengurangi beban orang lain.

Untuk itu, Kiai Subekhan mengajak agar menunaikan ibadah puasa dengan tulus ikhlas, bukan sekadar menjalankan kewajiban belaka. Kiai menerangkan, dalam kitab Qoimatus Saodah karangan Imam Ghozali, bila menjalankan puasa dengan tulus ikhlas maka setan tidak akan mengganggu.

Bila umat Islam mampu menyelesaikan kewajiban puasa, maka miniatur Indonesia dari pribadi-pribadi orang yang berpuasa akan terbentuk. Terbentuknya karakter yang tidak rakus, jujur dan tidak korupsi.

Sebab, tujuan puasa Ramadhan berupa ketakwaan pada setiap individu akan menata hidupnya lebih hati-hati akibat sudah dekat dengan dzat Allah yang Maha Mengetahui. “Panca indera manusia yang tidak maksiat, menjadikan negara baldatun toyibatun warobun ghofur (negara yang aman, damai sejahtera dalam lindungan dan ridlo Allah SWT,red),” ujarnya berdoa penuh harap.

Hal tersebut bisa terwujud, tentunya bila kita berpuasa tidak hanya sekadar menahan haus dan lapar tetapi puasa lahir dan batin.

Redaktur    : Mukafi Niam
Kontributor: Wasdiun


Terkait