Risalah Redaksi

Harapan di Tahun Baru

Sel, 1 Januari 2008 | 03:28 WIB

Setiap orang atau kelompok berharap terjadinya perubahan menuju kehidupan yang lebih baik. Harapan itu sering dikaitkan dengan peristiwa tertentu, baik melalui hari suci atau juga perubahan waktu seperti datangnya tahun baru. Setiap tahun baru selau diiringi dengan harapan baru. Berbeda dengan beberapa tahun lalu harapan itu ditumpahkan sedemikian rupa disertai optimisme, atau lebih tepat disebut katarsis yang penuh eforia.

Kali ini agak lain, ketika masyarakat lebih arif, bahwa dari tahun-ke tahun penghidupan tidak semakin mudah seperti yang diharapkan, sebaliknya semakin merosot. Bukan berarti tanpa harapan, masyarakat sekarang mulai menyadari bahwa perubahan dengan segala harapannya itu akan terjadi kalau disertai dengan langkah yang terencana dan dijalankan secara konsisten. Tidak bisa menyerahkan perubahan pada cakra manggilingan (putaran waktu) lalu menunggu sambil tidur atau berpesta pora, menunggu datangnya keajaiban yang turun dari langit. Ternyata harapan itu hampa, sebaliknya yang diperoleh malah malapetaka<>.

Kesadaran itu semakin meluas, hal itu diharapkan menjadi sarana tumbuhnya etos baru di masyarakat, kerja keras dilandasi dengan nilai kejujuran. Musnahnya seluruh harapan, bahkan hancurnya sebuah program dan perencanaan, ketika para pelaksananya tidak bertindak jujur. Inilah inti persoalan yang kita hadapi dewasa ini, tidak semata pengaruh atau factor luar, tetapi ada factor batin factor dalam yaitu tidak adanya kejujuran. Ketika ketidak jujuran meluas maka yang terjadi adalah saling ketidakpercayaan. Bila hal itu terjadi segala patologi social akan menggejala, konflik social dan kriminalitas.

Ketidakjujuran telah melanda hampir seluruh lapisan masyarakat, sejak dari masyarakat paling bawah hingga paling atas. Di kalangan masyarakat bawah membuat makanan d engan dicampur dengan berbagai bahan berbahaya, dimasak dengan cara sembarangan dan diawetkan dengan bahan beracun. Kalangan atas juga melakukan tindakan sama, mereka membelokkkan berbagao program pembangunan, membiarkan masyarakat terlantar dan hanya melayani kelompok berada.

Bila semuanya itu ternjadi maka tidak ada yang bisa diharapkan, baik kehendak dan kearifan masyarakat, dan kebaikan hati para pejabat, sama-sama tidak memberikan harapan. Harapan tidak hadir begitu saja orang boleh menaruh harapan ketika segala agenda dan prasyaratnya telah ditunaikan. Dalam bahasa agama, tawakkal itu baru berarti ketika ada amal. Demikian juga amal memperoleh nilai ibadah kalau disertai dengan tawakal. Disitulah terdapat kaitan erat antara iman dengan amal saleh, karena keimanan harus direfleksikan dalkam kesadaran dan tindakan.

Berkaitan dengan hadirnya tahun baru masehi atau tahun baru Hijriyah yang orang banayak mengharapkan perubahan, maka perubahan bisa direncanakan dengan mempersiapkan prakondisinya. Ini perlu lengkah-langkah drastic dengan mengubah kebiasaan lama yang malas dan tidak jujur dengan membangun etos baru, kerja keras disertai kejujuran. Agama Islam bisa dijadikan salah satu motovator dalam egenda ini. Kenapa Islam tidak bisa ketika agama yang lain bisa. Bukankah Islam juga mengajarkan kerja keras dan kejujuran.

Ini terjadi ketika umat Islam terkena penyakit sebagaimana yang diramalkan Nabi yaitu hubbud dunya wa karahiyatul maut (cinta harta dan enggan berjuang). Penyakit ini akan meruntuhkan spirit perjuangan, ketika semua kegiatan telah dianggap sebagai pekerjaan, termasuk dalam bidang keagamaan. Karena dianggap kerja maka yang diutamakan bukan kualitas, tetapi upah. Sementara upaya pengembangan masyarakat dibutuhkan perjuangan dan pengorbanan. Bagi orang yang rakus dan tamak pada harta tidak mungkin memberikan pengabdian, karena waktunya hanya untuk mencari harta, dan hartanyapun tidak ditasharufkan untuk agama dan negara.

Mengembalikan kembali spirit agama dalam bidang pengabdian dan perjuangan akan mengeliminir keserakahan dan ketidakjujuran. Ketika masyarakat telah berlakuk jujur dan kerja keras, harapan kembali bisa ditumpahkan. Perubahan tidak terjadi dalam sekejab, akan berkembang melalui proses yang bertahap. Tahap ini kelehatan, sepele tetapi justru merupakan fase terberat. Disitulah keuletan dan kesabaran dibutuhkan. (Mun’im DZ)