Pustaka

Memompa Semangat Belajar melalui Nazam Kitab Imrithi

Kamis, 1 Oktober 2020 | 06:45 WIB

Memompa Semangat Belajar melalui Nazam Kitab Imrithi

Untaian Motivasi dalam Nadhom al-‘Imrithi.

Ilmu nahwu menjadi pintu masuk untuk mengetahui berbagai kamar-kamar pengetahuan agama yang lain. Sebab, ilmu inilah yang mengantarkan kita dapat membaca dan memahami wacana yang termaktub dalam kitab-kitab yang membahas persoalan syariah, akidah, ataupun keislaman lainnya.


Karenanya, ilmu nahwu menjadi hal yang sangat vital untuk memahami agama. Bagi yang belum memahami ilmu ini dan mempraktikkannya, tidak perlu mencoba untuk berbicara agama mengingat tidak adanya pondasi yang dimiliki.


Salah satu kitab yang sering dipelajari dalam ilmu ini adalah Nazam al-‘Imrithi yang ditulis oleh Syekh Syarafuddin al-‘Imrithi berdasarkan kitab Matn al-Ajurumiyah. Kitab ini memberikan kemudahan bagi para santri yang hendak memahami bidang ilmu itu dengan syair-syair. Hal tersebut memudahkan pembacanya untuk menghafal sekaligus memahaminya.


Namun tidak cukup dengan itu, penulis rupanya meyakinkan para pembaca kitabnya agar bersungguh-sungguh mempelajari bidang keilmuan yang ditulisnya tersebut. Hal itu ditunjukkan dengan beberapa nazam dalam mukaddimahnya. Sebagai fondasi, ilmu nahwu menjadi sangat penting dipelajari guna memahami pengetahuan lainnya, khususnya memahami makna-makna yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadis sebagai pedoman hidup Muslim.


Bagian-bagian yang demikian inilah yang ditulis Amien Nurhakim dalam bukunya Untaian Motivasi dalam Nadhom al-‘Imrithi. Ia tidak saja menguraikan nazam-nazam tersebut secara sempit, tetapi juga memperluasnya dengan melakukan intertekstual, yakni memberikan penguatan argumentasi dengan referensi lainnya.


Soal pentingnya penguasaan ilmu nahwu itu, misalnya, Amin mengutip pernyataan Imam Jalaluddin al-Suyuthi yang disajikan Syekh Majid Muhammad al-Raghib dalam Syarh al-Durrah Nadhm al-Ajurumiyah. Menurut al-Suyuthi, nahwu merupakan ilmu yang dibutuhkan dalam segala bidang ilmu. Bahkan, orang yang tidak memahami bidang itu dilarang berbicara mengenai Al-Qur’an dan Hadis.


Hari-hari ini kita tentu mengetahui tak sedikit orang yang belum memahami ilmu nahwu tetapi sudah berani tampil sebagai penceramah dengan mengutip dalil Al-Qur’an dan Hadis. Padahal, pemahamannya atas fondasi ilmu itu juga belum kokoh.


Di pesantren, ilmu nahwu menjadi pelajaran penting bagi para santri, bahkan memerlukan perhatian khusus mengingat bukan saja teori dan dasar referensi kitab harus hafal di luar kepala, melainkan juga wajib bisa mempraktikkannya dalam kitab kuning yang tidak ada syakalnya sama sekali.


Hafal teori dan referensinya tidak menjamin santri mampu menerapkannya saat membaca kitab-kitab tanpa syakal. Sebab, hal ini butuh keahlian khusus dengan dilatih sesering mungkin sehingga akal dan teori yang dihafalnya dapat terasah dan terbiasa menemui susunan kata bahasa Arab. Dengan begitu, pemahaman santri dapat sejalan dengan praktiknya sehingga ia dapat memperoleh pengetahuan lain karena sudah mampu membaca referensinya.

Oleh karena itu, Syekh Syarafuddin juga mengingatkan bahwa pemuda harus memiliki tekad kuat. Tanpa itu, sulit bagi mereka bisa memperoleh derajat kebermanfaatan bagi semesta. Padahal sebagaimana diketahui bersama, bahwa sebaik-baik manusia adalah dia yang paling bermanfaat untuk manusia lainnya.


Kebulatan tekad tersebut tidak hanya diimplementasikan dalam belajar, tetapi dalam berkehidupan, termasuk soal keimanan. Siapa beriman kuat, Allah swt. akan mengangkat derajatnya.


Di samping itu, motivasi yang diembuskan Syekh Syarafuddin dalam kitabnya tersebut tidak hanya terletak pada mukaddimah saja, melainkan juga melalui contoh-contoh yang diberikannya.


Misalnya saja, dalam Bab I’rab al-Fi’il, disebutkan sebuah contoh kalimat, laa tarum ‘ilman wa tatruk al-ta’ab, jangan kau berharap ilmu sementara kau meninggalkan rasa lelah. Artinya, lelah merupakan suatu keniscayaan dalam belajar.


Sebab, sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa enam modal utama belajar yang disebutkan Ali bin Abi Thalib sebagaimana dikutip Al-Zarnuji dalam Ta’lim al-Muta’allim, adalah kecerdasan, semangat, kesabaran, bekal, petunjuk guru, dan waktu yang panjang. Enam hal tersebut, khususnya kesabaran dan waktu yang panjang, tentu memberikan rasa lelah yang luar biasa.


Terlebih bagi kita yang kerap kesulitan memahami bacaan ataupun penjelasan.Dengan adanya alarm yang dibunyikan Al-‘Imrithi, mestinya kita sadar untuk tetap bersemangat dalam belajar dengan kebulatan tekad dan cita yang kita harapkan.


Buku ini penting bagi para pemula untuk memperteguh dan memupuk semangatnya dalam belajar. Sebab, semangat menjadi modal penting dalam belajar. Tanpanya, kita akan kesulitan untuk bisa maju di masa yang akan datang mengingat jalan utama menuju cita-cita adalah belajar. Sementara jalan untuk bisa belajar itu bisa terbuka bagi sesiapa saja yang memiliki semangat tinggi.


Betapa kendala belajar itu cukup banyak. Ada yang sudah memiliki banyak bekal secara finansial, tetapi malasnya begitu bebal. Sementara yang begitu rajin, sering terkendala biaya. Semangat yang menggebu akan membuka semua kendala tersebut. Misalnya saja dengan bergaul dan membentuk ekosistem yang mendukung untuk belajar. Usaha yang gigih demi membiayai proses pembelajaran juga bisa dilakukan bagi mereka yang tak memiliki kecukupan biaya.


Peresensi Syakir NF, mahasiswa Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) dan Pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU)


Identitas Buku

Judul: Untaian Motivasi dalam Nadhom al-‘Imrithi

Penulis: Amien Nurhakim

Tebal: xx+104

Penerbit: Pustaka Global

ISBN: 978-623-94000-0-2