Pendidikan Islam

Al-Kenaniyah, Pesantren dalam Kepungan Hedonisme Ibukota

Ahad, 20 September 2015 | 22:01 WIB

Di Pulo Nangka Jakarta Timur berdiri sebuah pesantren khusus putri, yakni Al-Kenaniyah. Suasana mondok di pesantren ini terasa unik. Pasalnya, letak pesantren yang strategis. Selain berada di tengah ibukota, kampung ini dekat dengan kawasan industri. Mall dan beberapa keramaian memiliki pengaruh terhadap gaya hidup masyarakat setempat. <>

Sejatinya, warga asli kampung kecil yang dikepung gedung-gedung tinggi di bilangan Pulo Gadung ini merupakan suku Betawi. Namun, banyaknya pendatang sedikit banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat setempat. Dari homogen menjadi heterogen penduduknya.

Pesantren yang diresmikan pada 4 Sya’ban 1414 H (16 Januari 1994) oleh para alim ulama hingga kini tetap berdiri kokoh di Jalan Perintis Kemerdekaan Pulo Nangka Barat I/14, Kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Pulo Gadung, Jakarta Timur.

Para ulama yang hadir waktu itu antara lain KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH Syamsuri Badawi dan KH Zayadi Muhajir serta beberapa tokoh masyarakat di sekitar Pulomas. Pesantren ini dipimpin oleh KH Hambali Ilyas. Nama Al-Kenaniyah, diambil dari nama Haji Kenan, seorang ulama dan tokoh masyarakat Betawi.

Menurut KH Hambali Ilyas, pihak keluarga awalnya mendirikan Madrasah Ibtidaiyah Al-Khairat pada tahun 1977. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada 27 Januari 1981, pihak pesantren melakukan pengembangan dengan membuka Madrasah Tsanawiyah dan Taman Kanak-Kanak.

“Terus terang, awalnya saya juga nggak punya keinginan (bikin pesantren). Awalnya gini, waktu itu pertama kami nerima santri kurang lebih 13 apa 14 orang pada 1995. Kita kan bertahap berkembang terus. Mulai dari pendidikan formalnya. Begitu TK maju, lalu buka MI. MI maju, buka MTs. MTs maju, buka MA. Aliyah maju, baru buka pesantren,” paparnya.

Rencana Kiai Hambali, pesantren putra lebih dahulu didirikan. “Rencana saya putra awalnya. Makanya, waktu ngomongin penerimaan santri baru untuk Al-Kenaniyah waktu itu, putra. Bukan ke putri arahnya. Terus ada yang daftar 13 orang apa 14 lupa saya,” ujarnya sembari menghisap rokoknya melalui cerutu ala Arab.

Setelah proses belajar santri berjalan kurang lebih sebulan, ibu Kiai Hambali melakukan “sidak” ke asrama santri. “Jadi, ibu saya ngontrol. Lho, kok putra. Ibu saya bilang, di sini nggak usah putra. Di sini putri aja dulu. Nah, saya kalau sudah ibu yang bicara, saya nyerah. Kalau sudah ibu, udah. Apapun mau bener mau salah kalau ibu yang bicara udah sam’an wa tha’atan saya patuh,” kenang Kiai Hambali.

Akhirnya, Kiai Hambali mengajak musyawarah para orang tua santri. “Kami daftarin yang 13 anak itu, lalu saya panggil lagi wali santri. Udah anaknya mau ke mana ini. Karena ibu saya bilang buka putri dulu, jadi saya buka putri dulu. Putra nanti di mana lah nanti dicari. Ibu saya waktu itu bilang, terserah nanti buat di mana terserah,” ujarnya dalam logat Betawi yang kental.

Pembatasan Santri

Kiai Hambali sejak awal ingin membatasi jumlah santri maksimal 50 orang. Tapi, sistem pondok pesantren NU umumnya tidak bisa demikian. “Yang saya tau, itu kan kalau ada santri masuk, kita nggak boleh nolak. Apalagi pesen dari guru-guru itu Mbah Yai Idris, Mbah Yai Syamsuri, pokoke nek santri teko pokoke terima. Ojo dibates-batesi. Lho itu yang saya nggak bisa nolak,” tuturnya.

Wal hasil, pihaknya tidak bisa lagi membatasi jumlah santri. Belum lagi ada memo dari para kiai agar menerima santri dari beberapa daerah di Jawa Timur, misalnya Gresik, Malang dan lainnya. “Akhirnya, mau bilang apa. Mau dibatasi malah membengkak. Sekarang waiting list untuk dua tahun yang akan datang aja sudah banyak, masya Allah,” tambahnya.

Meski demikian, Kiai Hambali sengaja tidak memperluas pesantren lagi. Untuk sementara kapasitas kamar kita hanya 150 santri. Faktanya, ternyata sekarang santri kurang lebih 170-an orang. “Itu yang sulit kami pertahankan pembatasan itu,” kata santri Pesantren Tebuireng periode 1972-1975 ini.

Dari jumlah tersebut, sebaran santri berasal dari yang paling jauh Padang, Sumbar; Bangka Belitung, Jambi, Lampung. Mayoritas berasal dari Jabodetabek. “60 persennya lah, yang 40 persen campur aduk dari beberapa daerah dari Jawa Barat. Madura ada juga,” ujarnya.

Setelah berjalan kurang lebih enam tahun lamanya, pada 26 Juli 1984 didirikan sebuah Yayasan Al-Kenaniyah sekaligus melakukan perubahan nama Yayasan, yang semula Madrasah itu bernama Al-Khairat menjadi Madrasah Al-Kenaniyah. Hal ini dilakukan lantaran berada dalam naungan Yayasan Al-Kenaniyah sekaligus untuk mengenang jasa dan perjuangan kakek tercinta, Almarhum Haji Kenan.

Sejak berdirinya sampai sekarang Pesantren Kenaniyah mengalami banyak perkembangan dan kemajuan. Pada awal mulanya santri Al-Kenaniyah hanyalah dari anak-anak para penduduk di sekitarnya sekitar 6 santri. Namun pada tahun 1996 jumlah santri bertambah menjadi 8 orang santri. kemudian pada tahun berikunya menjadi 50 santri.

Pada tahun 2000 santrinya berjumlah 90 santri dan kini tahun 2007 jumlah santri telah mencapai kurang lebih 120 santri. Pesantren ini tidak memprioritaskan kuantitas, namun lebih menekankan pada kualitas santri yang dapat membaca persoalan umat di masa yang akan datang.

Selain pesantren, Yayasan Pendidikan Islam Al-Kenaniyah memiliki beberapa unit pendidikan: Taman Kanak-kanak (TK), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA), Pesantren Putri Al-Kenaniyah, serta majlis ta’lim.

Jadwal kegiatan santri di Al-Kenaniyah pun teratur rapi. Para santri mendapatkan pelajaran baik umum maupun agama sejak pagi hari di lembaga formal baik MTs maupun MA hingga sore bahkan malam hari untuk mengkaji kitab kuning.

Pengkaderan dan Kitab Kuning

Menurut Kiai Hambali, pengkaderan di pesantren sangat penting. Basisnya adalah kitab kuning. “Sekarang mudah-mudahan yang kita khawatirkan itu pesantren itu nggak terjadi. Kita kan nyiapin kader untuk memimpin pesantren masa depan. Pokoknya utamanya ya itu, kurikulum salaf jangan sampai ditinggal,” ujarnya.

Kiai Hambali mengingatkan pentingnya kitab kuning di pesantren. “Jadi, kitab kuning tetap kita pakai sambil kita menyesuaikan zaman kan sudah berubah. Bagaimanapun zamannya sudah berubah. Kita punya konsep, addibu auladakum fainnahum yuladu fi zamanin ghaira zamanikum. Selesai kan?! Kalau nggak begitu, nggak bisa,” ujarnya.

Dalam pendidikan pesantren yang dibutuhkan untuk keberhasilan santri ke depan, yang terpenting adalah ilmu ikhlas. “Keikhlasan kita dan para guru di pesantren itu jangan sampai hilang. Itu sebetulnya PR lama dari dulu. Kalau bicara ke situ kan otomatis nyangkut masalah ekonomi. Kita harus bisa memikirkan kesejahteraan guru-guru yang ngabdi di pesantren,” tandas Kiai Hambali.

Ditanya tentang tantangan pesantren Al-Kenaniyah, Kiai Hambali mengatakan pengasuhnya musti cerdas. Pasalnya, kondisi Al-Kenaniyah yang dikelilingi mal-mal tentu menjadi godaan tersendiri bagi santri untuk ingin jalan-jalan.

Sebelum buka pondok, ia merenungkan soal hari yang tepat untuk meliburkan santri. “Yang paling enak hari apa, yang membuat santri itu bosan. Kalau pun ia keluar jadi nggak betah (di luar). Umumnya Jakarta libur kan Minggu. Nah, hari itu kan padatnya mal-mal. Akhirnya saya ambil kitab karya Mbah Hasyim Adabul Alim wa al-Mutaallim. Ternyata, awal belajar itu Rabu. Jadi, Selasa kita liburkan,” ungkapnya.

Ternyata benar. Tiap Selasa mal-mal sepi. Bioskop-bioskop juga menayangkan film-film tidak menarik. “Ya udah, kita liburkan Selasa. Ini preventif maksudnya. Menghadapi tantangan pesantren yang berada di tengah kota ya kayak begitu,” tegas Kiai Hambali.

Soal perizinan keluar juga diperketat. Jika bukan orang tuanya yang mendampingi pasti tidak dapat izin. “Putri kan berat. Makanya sejak awal saya nggak tertarik buka pondok putri kan kayak begitu. Nah, kalau putra kita kan bebas ngontrol. Ke kamarnya, kalau bangunin subuhnya juga enak,” ujarnya.

Sebagai ibu nyai, istrinya juga berperan aktif mengawal santri putri. Selain itu, diangkat para koordinator alumni terutama yang dulu pernah dibiayai sekolahnya untuk mengabdi di pesantren. “Itu pun kalau mereka mau. Kalau nggak mau ya nggak masalah. Nggak ada paksaan. Terpenting pesantren itu kitab kuning jangan ditinggal. Kalau ditinggal, bukan pesantren to. Itu aja,” pungkasnya. (Musthofa Asrori)

 

Terkait

Pendidikan Islam Lainnya

Lihat Semua