Opini

Bonus Demografi Kaum Santri

Jum, 7 April 2017 | 05:30 WIB

Bonus Demografi Kaum Santri

Ilustrasi oleh Romzi Ahmad

Oleh A Khoirul Anam

Kaum santri berpusat pada pesantren dan secara kultural dipimpin dan patuh kepada kiai, meskipun tidak semua pernah mondok atau menetap dan belajar di pesantren. Mereka sudah terbiasa menjalani kesalehan agama Islam semenjak masih kecil. Mereka tidak mesti berdagang, bahkan sebagian besar adalah keluarga petani. (Trikotomi Clifford Geertz 1951-1952 tentang santri-abangan-priyayi seringkali mengganggu pemahaman kita mengenai perkembangan kaum santri ini. Meskipun setelah peristiwa G30SPKI 1965 Geertz datang lagi ke Indonesia dan mengubah tesisnya, kesimpulannya itu sudah terlanjur terbit menjadi buku dan dikutip sana-sini.) Tegasnya, kaum santri berafiliasi dengan organisasi NU.

Pada mulanya kaum santri ini berada di desa-desa yang lekat dengan tradisi keagamaan seperti ritual kelahiran dan kematian (Geertz sebaliknya menyebut tradisi ini sebagai abangan). Berikutnya, sebagian dari kaum santri bermigrasi dan menetap di kota-kota, menjadi orang kota dan beranak-pinak. Kira-kira mereka yang bermigrasi sejak tahun 1960-1970an, saat ini sudah mempunyai cucu. Proses migrasi terus berlanjut. Migrasi yang terjadi pada kurun 1990an dan 2000an lebih banyak lagi, silakan diamati setiap musim mudik lebaran.

Orang-orang di luar sana sedang membicarakan soal bonus demografi. Jumlah penduduk produktif Indonesia besar sekali. Sementara sukses dakwah Islam telah berhasil menjadikan Indonesia mayoritas Muslim, sehingga bonus demografi yang dimaksud di atas pasti berkaitan dengan besarnya generasi muda Muslim di Indonesia. Catatan berikut fokus pada bonus demografi kaum santri.

Pada 2015 lalu sebuah media massa nasional yang aktif melakukan survei, merilis berita yang membuat saya tersenyum. Hasil survei menunjukkan ternyata, 70 persen wartawan berbagai media nasional di Jakarta mengaku sebagai warga NU, atau Nahdliyin. Ini hanya satu bidang profesi, sekedar menunjukkan betapa percaya dirinya kaum santri yang hidup di kota. Pada satu sisi, kemandirian yang diajarkan secara praktis di pesantren menjadi bekal yang luar biasa untuk bersaing hidup di kota. (Dalam catatan ini saya perlu menyampaikan kekaguman kepada sosok Savic Ali, alumni pesantren yang hijrah ke kota dan kuliah di jurusan filsafat, kemudian menjadi aktifis dan sekarang menjadi pebisnis sukses di bidang teknologi-komunikasi.)

Sesuatu yang menarik dalam bonus demografi sebenarnya bukan migrasi, tapi mobilitas sosial yang sudah terjadi pada kaum santri selama bertahun-tahun melalui beberapa bidang dan peran. Di bidang politik, kaum sarungan mulai meroket ke kancah nasional melalui Partai NU pada tahun 1955, dan berikutnya kiprah politik ini terus bertahan meskipun mengalami pasang-surut. Posisi kaum santri sangat kuat karena dalam sistem demokrasi yang selalu mengandalkan jumlah massa; sesuatu yang menjadi keunggulan kaum santri.

Berikutnya, kisaran akhir 1970an dan 1980an, sebagian kaum sarungan menjajaki dunia baru sebagai aktivis LSM, gerakan advokasi yang didahului dengan berbagai kajian kritis terhadap berbagai teks pesantren dan adaptasi berbagai kajian filsafat dan teori sosial dari Barat. Gus Dur menjadi satu ikon penting dalam hal ini. Kemudian tibalah era reformasi yang ditunggu-tunggu dan generasi ini sudah siap "merebut" jabatan strategis di lembaga-lembaga negara yang baru dibentuk, serta tenaga-tenaga ahli di berbagai bidang.

Sarana mobilitas sosial yang paling penting bagi kaum santri adalah pendidikan. Negara Indonesia ini harus berterimakasih kepada pesantren yang menyelamatkan pendidikan warga negara terutama di basis pedesaan dan kalangan ekonomi menengah ke bawah. Pada awal masa kemerdekaan, pesantren yang sejak awal memilih jalur politik non-kooperatif terhadap sistem kolonial, memilih tetap menjadi institusi pendidikan tersendiri yang secara nomenklatur berada di bawah naungan Kementerian Agama, bukan Kementerian Pendidikan. Berikutnya, sebagian pesantren bermetamorfosa menjadi madrasah atau sekolah formal yang diakui oleh pemerintah dan menyeleggarakan juga pendidikan tinggi dengan berbagai bidang keahlian yang hampir sama dengan yang dikembangan di lembaga pendidikan tinggi umum. Kementerian Agama juga sangat aktif melakukan proyek ā€œintegrasiā€ ilmu agama-umum dan memfasilitasi kaum santri untuk mendalami bidang sains dan humaniora.

Hasilnya, banyak sekali kaum santri yang mempunyai keahlian selain bidang agama-normatif. Bahkan, bukan rahasia lagi sejak dahulu putra-putri para tokoh NU disekolahkan di lembaga pendidikan umum, bukan di pesantren atau lembaga pendidikan Islam. Dan pada saat Indonesia mengalami bonus demografi, sudah banyak kaum santri yang menjadi ahli matematika dan statistik,ahli biologi dan kimia, ahli teknologi, ahli astronomi, bahkan ahli di bidang nuklir: Bidang-bidang keahlian ini mungkin tidak terpikirkan pada 31 Januari 1926.

Organisasi NU sebagai rumah besar kaum santri memang terlalu ā€œtuaā€ untuk merespon bonus demografi kaum santri ini, namun intsitusi yang dipimpin para kiai pesantren ini menjadi sarana ā€œkopi daratā€ generasi santri yang sudah beredar kemana-mana. (Di Jakarta misalnya halaqah-halaqah, istighotsah atau kegiatan apapun menjadi saranan berkumpul kaum santri, sekedar ngobrol-ngobrol, bercanda dan membahas hal-hal yang tidak penting (tidak berkaitan dengan bidang profesi mereka).

Sebagian orang luar masih menganggap kaum santri hanya sebagai komunitas massa Islam yang berkecimpung di bidang agama. Misalnya, para wartawan yang diturukan untuk meliput berbagai kegiatan NU atau datang menemui kiai di pesantren hampir selalu wartawan desk-politik. Singkatnya, NU dan pesantren di kancah nasional hampir selalu identik dengan manuver politik dan fatwa keagamaan.

Namun siapapun tidak bisa membendung arus pergerakan generasi kaum santri di berbagai bidang dan pos-pos penting. Di bidang politik, beberapa santri duduk sebagai pimpinan berbagai partai politik. Di birokrasi, kaum santri juga tidak hanya masuk melalui jalur Kementeria Agama. Di bidang keahlian lain pergerakan kaum santri di era bonus demografi ini juga tidak bisa dibendung dan dihalangi oleh siapapun atau apapun. Semua berlangsung secara alamiah dan bebas dari pengaruh ā€œkonspirasi wahyudiā€ sekalipun.Ā 

Penulis adalah Redaktur NU Online