Nasional

Pergunu: Penanaman Nilai Sejarah kepada Peserta Didik Harus Objektif

Jumat, 23 April 2021 | 09:00 WIB

Pergunu: Penanaman Nilai Sejarah kepada Peserta Didik Harus Objektif

Ketua Pergunu, Aris Adi Leksono. (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online

Penanaman ideologi dan memahamkan sejarah bangsa kepada peserta didik di dunia pendidikan sangat penting dilakukan. Tujuannya agar generasi penerus bangsa tidak bias ideologi dalam memaknai perjalanan negeri ini. 


Salah seorang Ketua Pimpinan Pusat (PP) Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) Aris Adi Leksono menegaskan, garis dasar pelaksanaan pembelajaran tidak boleh terlepas dari nilai-nilai kesejarahan yang harus ditanamkan secara objektif.


“Memberikan pengetahuan sejarah kepada murid itu harus objektif. Tokoh PKI ya dikatakan PKI. Tokoh berjasa kepada bangsa Indonesia seperti KH Hasyim Asy’ari harus dikatakan secara jujur bahwa beliau memang berjasa. Jangan ditiadakan, apa pun alasannya. Itu yang nggak benar dan proporsional,” tutur Aris kepada NU Online, Kamis (22/4).


Cara memahamkan sejarah kepada peserta didik juga mesti proporsional. Sebab semua orang tentu memiliki kapasitas pengetahuan yang berbeda berdasarkan usia. Murid sekolah dasar misalnya, mesti dituntun untuk membaca sejarah. Bahkan perlu dipilah, tokoh bangsa mana yang bisa dijadikan sebagai teladan dan memiliki perjalanan yang baik dalam pembangunan negara. 


“Jadi kita harus tahu pada level usia mana anak-anak bisa membandingkan, pada usia mana anak yang harus didoktrin pengetahuan sejarah hal-hal yang baik. Ini penting harus dilakukan secara proporsional. Tidak semua anak, dari lahir hingga dewasa, dianggap harus memiliki pengetahuan yang sama,” terang Kepala MTs Negeri 35 Jakarta ini.


Dikatakan, nilai falsafah bangsa seperti Pancasila harus dijadikan sebagai spirit dalam pengembangan pendidikan di Indonesia. Selain itu, seluruh falsafah bangs aitu mesti terus digali dan diterjemahkan agar tujuan pendidikan nasional terwujud, yakni mencerdaskan anak bangsa.


Ketika tujuan pendidikan nasional digali dan diterjemahkan, lalu diturunkan menjadi pola-pola pembelajaran, serta menjadi aktivitas-aktivitas yang baik yang ada di ruang kelas, bahkan memiliki dampak positif untuk kehidupan di masyarakat. 


“Setelah itu diterjemahkan dengan baik, maka garis dasarnya tidak akan terlepas dari nilai falsafah bangsa. Garis dasar pelaksanaan pembelajaran itu tidak boleh terlepas dari kesejarahan karena berangkat dari nilai dasar berbangsa dan bernegara,” tegas Aris.


“Esensinya adalah tentang bagaimana memulai pendidikan dan pembelajaran dengan penanaman nilai moralitas. Pintar tapi juga bermoral. Ahli sains ahli teknologi tapi juga bermoral, berakhlak mulia,” tambahnya. 


Selanjutnya, nilai-nilai dasar itu menjadi kuat dan teradopsi dalam sistem pendidikan yang juga mesti dibangun agar responsif terhadap perkembangan zaman. Misalnya, soal perkembangan teknologi yang dengan sangat cepat mengubah tatanan sosial. 


“Supaya anak-anak didik ini mampu adaptif maka harus ditanamkan pola pembelajaran 4C yaitu critical thinking (berpikir kritis), creativity (kreatif), collaboration (kolaborasi), dan communication (komunikasi),” tutur Aris.


“Tetapi ingat, percepatan karena perkembangan teknologi harus didasari nilai-nilai kebangsaan dan keagamaan, sehingga anak didik kita menjadi unggul, berprestasi, responsif, tapi juga memiliki ideologi yang jelas yaitu Pancasila,” pungkasnya.


Pewarta: Aru Lego Triono

Editor: Fathoni Ahmad