Nasional HARLAH KE-95 NU

Kiai Said: Wayang Sarat Filsafat Kehidupan

Sab, 7 April 2018 | 17:50 WIB

Kiai Said: Wayang Sarat Filsafat Kehidupan

KH Said Aqil Siroj. (Foto: Ahmad Labieb)

Jakarta, NU Online
Wayang merupakan khazanah yang sarat nilai dan berisi filsafat kehidupan. Cerita wayang tidak menggunakan premis-premis nasional, tetapi dengan menggunakan perumpamaan, dan hal inilah yang juga sering kali dipakai Al-Qur’an.

Hal itu disampaikan Ketum PBNU KH Said Aqil Siroj menjelang pertunjukan wayang kulit dalam peringatan harlah ke-95 Nahdlatul Ulama di Tuku Proklamasi, Jakarta Pusat, Sabtu (8/4) malam.

Dalam Al-Qur’an Allah selalu menggunakan masal, perumpamaan, metafora. 

“Misalnya suatu ayat disebutkan nyamuk, menggunakan laba-laba, tawon. Banyak sekali yang digunakan Allah yamg mengandung nilai-nilai filsafat kehidupan,” kata Kiai Said.

Dikatakan orang beriman tahu persis bahwa perumpamaan itu datangnya dari Allah dan semua mengandung kebenaran, termasuk dalam pertunjukan wayang. 

“Tapi orang yang tidak mengerti, orang yang dungu, akan mengatakan ngapain ada perumpamaan segala, ngapain ada wayang segala? Ngapain NU wayangan segala?” lanjut pengasuh Pesantren Atsaqafah Ciganjur Jakarta Selatan ini.

Kiai Said juga mengatakan cerita wayang yang datang dari India semula ditampilkan dalam kertas berupa gambar-gambar. Pada zaman Walisongo, tepatnya Raden Muhammaf Said atau Sunan Kalijaga lalu diperagakan menggunakan kulit. 

“Bahkan disisipkan nilai-nilai ajaran Islam. Sehingga wayang sebagai infrastruktur agama,” tambah kiai yang semasa muda bergiat di IPNU Cirebon, Jawa Barat.

Oleh Walisongo wayang dan budaya lainnya menjadi strategi dakwah Islam.

“Selama 50 tahun yaitu tahun 1450-1500, Nusantara tersebar Islam, tanpa kekerasan, tanpa darah, dan caci maki,” ujarnya.

Pertunjukan wayang kulit akhirnya menjadi bagian dari budaya yang memperkokoh agama.

“Budaya kokoh, Islam kuat,” tegas Kiai Said.

Pertunjukan wayang pada kesempatan tersebut, sambung Kiai Said, juga menjadi bukti ikut andilnya NU dalam mempertahankan budaya Indonesia. Selama 350 tahun dijajah Belanda, budaya Indonesia tetap utuh, tidak terkontaminasi budaya penjajah Belanda.

Bila budaya yang baik terus dipertahankan, Kiai Said optimis, Indonesia juga dapat dipertahankan. (Kendi Setiawan)