Fragmen

Santri Keliling Bernama Kiai Abbas Buntet

Rabu, 15 Maret 2006 | 12:45 WIB

Dulu, tidak ada santri yang hanya belajar atau nyantri di satu atau dua pesantren saja. Karena pesantren bersifat spesialais, hanya mengajarkan keilmuan tertntu, karena itu kalau mau belajar ilmu yang lain harus pindah. Para santri berpindah-pindah dari pesantren satu ke pesantren lainnya untuk memperluas dan memperdalam pengetahuannya. Sehingga dikenal dengan istilah santri kelana.

Istilah alumni ini mungkin bermula sejak diadakannya sistem klasikal dengan kurikulum yang ketat dan diajarkan oleh para ustazd dan tidak oleh kiainya langsung. Karena pesantren mengajarkan semua hal, sehingga tidak mungkin ditangani kiainya sendiri. Sementara pada zaman dulu, para santri dididik langsung oleh kiainya kemudian segera selesai dan para santri diperintahkan untuk mencari tambahan ilmu di pesantren yang lainnya. Sehingga menjadilah mereka santri keliling atau wandering santris.

<>

Para sejarawan biasa menyebut mereka sebagai Satria Lelana. Pada masa penjajahan para santri inilah yang menjadi mediator anatar pesantren untuk melawan penjajah. Sementara pesantren di mana pun adanya selalu menjadi basis perlawanan yang menakutkan bagi penjajah. Santri keliling ini menyebarkan informasi dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu pesantren ke pesantren yang lain, bahkan mereka tidak segan-segan memimpin perlawanan.

Kiai Abbas bin Abdul Jamil yang lebih dikenal dengan Kiai Abbas Buntet. Lahir pada hari Jum’at 24 Dzulhijjah 1300 H (1879 M) di Pekalangan, Cirebon, Jawa Barat. Abbas kecil belajar kepada ayahnya Kiai Abdul Jamil. Adalah contoh santri lelana tulen. Setelah dirasa cukup menguasai dasar-dasar ilmu agama, dan ilmu kanuragan tentunya, dia dipindahkan ke Pesantren Sukasari, Plered, Cirebon, dibawah asuhan Kiai Nasuha. Setelah itu, masih di Jawa Barat, dia pindah ke sebuh pesantren salaf (tradisional) di daerah jatisari di bawah bimbingan Kiai Hasan.

Berikutnya, Abbas pindah ke pesantren di Jawa Tengah, tepatnya di daerah Tegal, yang diasuh oleh Kiai Ubaidah. Lalu dia pindah ke sebuah pesantren yang waktu itu sangat kondang di Jawa Timur, yakni Pesantren Tebuireng, Jombang, di bawah asuhan Kiai Hasyim Asy’ari. Di sinilah dia bertemu dengan teman-temannya, para santri keliling yang progresif, antara lain Abdul Wahab Chasbullah yang kelak menjadi seorang tokoh terpenting yang memelopori berdirinya organisasi kaum santri bernama Nahdlatul Ulama (NU).

Belum cukup kenyang belajar di Pesantren Tebuireng, Abbas bertolak ke Tanah Hejaz (Saudi Arabia sekarang) untuk memperdalam ilmu. Di sana, dia sempat belajar kepada Kiai Machfudz Termas asal Pacitan Jawa Timur, salah seorang ulama Nusantara yang kesohor di Makkah waktu itu. Di tempat yang sama, dia bertemu dengan semakin banyak santri keliling. Selain Wahab Chasbullah, ada juga Bakir dari Yogyakarta, dan Abdillah dari Surabaya.

Kiai Abbas berada di garda depan perjuangan mengusir Inggris dalam peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. Setelah Kiai Hasyim Asy’ari sebagai pemimpin utama NU waktu itu mengeluarkan “Resolusi Jihad” pada 22 Oktober 1945 berupa seruan untuk mengusir penjajah yang ingin kembali menginjak bumi pertiwi. Para kiai dan ribuan santri segera bergerak ke Surabaya. Bung Tomo orator utama dalam peristiwa ini adalah juga termasuk murid Kiai Hasyim Asy’ari yang selalu berkomunikasi aktif.

Ketika Kiai Wahab Chasbullah memimpin pasukan Kiai dan Santri bernama Sabilillah dan Hizbullah, belum mengizinkan serangan sebelum seorang pendekar yang disegani asal Cirebon datang. Dialah Kiai Abbas Buntet. Kiai Abbas datang bersama rombongan dan langsung bergabung ke dalam barisan perang. Kiai Abbas terkenal sakti dan paling berjasa meledakkan pasukan tempur Inggris yang tidak sebanding dengan senjata para pejuang kemerdekaan waktu itu.

Hanya beberapa orang santri keliling yang terekspos dalam catatan sejarah apalagi sebagai seorang pahlawan nasional, termasuk Kiai Abbas sendiri. Sejarah nasional Indonesia lebih senang menuliskan peristiwa-peristiwa besar atau tokoh-tokoh besar yang punya pengaruh besar. Kaitannya dengan tokoh, terutama sekali para tokoh yang punya hubungan erat dengan penguasa, entah bersahabat atau bermusuhan, atau juga para tokoh yang ditulis oleh para pencatat dan pelancong yang dibawa oleh penguasa. Belakangan ada kesadaran sejarah baru, mengamati sejarah dari perspektif yang kecil-kecil seperti tokoh-tokoh kecil dari daerah-daerah kecil atau tentang fenomena kecil seperti santri keliling yang mungkin adalah sejarah dalam arti yang sesungguhnya; sejarah peradaban. (a khoirul anam)