Nasional

Santri dan Pesantren Punya Pasar Besar di Era Digital

Sabtu, 20 Oktober 2018 | 06:15 WIB

Jakarta, NU Online
Kehadiran Revolusi Industri generasi keempat atau era digital tidak bisa dihindari oleh siapa pun, khususnya santri. Keberadaannya harus disikapi secara cerdas dengan memanfaatkan berbagai peluang yang ada.

"Revolusi industri keempat ini kenyataan yang harus dihadapi semua manusia. Teman-teman santri yang ada di dalamnya sebaiknya cepat berbenah untuk memanfaatkan peluang yang besar," kata Penasihat Arus Informasi Santri (AIS) Nusantara, Romzi Ahmad kepada NU Online, Jumat (19/10) melalui sambungan telepon.

Menurut Romzi, para santri jangan hanya memahami keberadaan digital sebagai sebuah ruang bersilaturahim dan mempererat hubungan satu sama lain, tetapi lebih dari itu, menyadari bahwa dunia digital dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi umat, penyebaran ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, dan pendidikan pesantren ke depan.

Pria asal Cirebon, Jawa Barat ini menambahkan, dunia digital juga bisa dipahami sebagai sebuah interaksi digital, seperti untuk membangun jejaring dan gagasan. Sebab, pemahaman demikian membuka peluang ekonomi, seperti penjualan melalui e-commerce, sebuah transaksi elektronik yang tidak lagi mengharuskan adanya pertemuan antara penjual dan pembeli.

"Santri juga bisa memanfaatkan e-commerce untuk keperluan yang berbasis keagamaan untuk keperluan santri-santri yang lain.Ini pasarnya besar banget," ucapnya.

Tantangan Pesantren di Era Digital
Dalam sejarahnya, pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia selalu berhasil bertransformasi terhadap kebutuhan zaman. Para lulusannya tidak hanya menjadi agamawan, tetapi juga professional muda di berbagai bidang.

"Tantangan sekarang adalah professional muda yang memahami betul soal era digital. Jadi, pesantren harus terbuka soal digital," katanya.

Menurut Romzi, RI keempat tidak membutuhkan dana yang besar, sehingga semestinya pesantren mau memanfaatkan digital secara maksimal.

"Jadi idealnya lebih mudah untuk pesantren, untuk menyediakan ruang bagi santri untuk jauh terlibat dalam industri digital atau setidaknya memahami masa depan industri di Indonesia, mau ke mana dulu  arahanya industri digital ini," ucapnya.

Namun demikian, ia tidak berharap semua pesantren untuk memfokuskan santri-santrinya pada digital, sebab dirinya tidak memungkiri adanya pesantren salaf yang cukup berat untuk membuka diri. Tetapi alangkah baiknya, pesantren salaf juga turut menyajikan pengajiannya melalui digital agar masuk ke generasi millenial.

"Saya sih tidak berharap seluruh pesantren melakukan hal ini, minimal kepada pesantren yang mempunyai visi ke digital itu menyediakan profesional-profesional muda untuk konsentrasi di sini," ucapnya.

Sebab, sambungnya, tidak semua persoalan terpengaruh oleh digital seperti urusan psikologis, mental, dan spiritual. Menurutnya, masyarakat masih memilih pengajian secara langsung atau tidak melalui digital.

"Ngaji sorogan misalnya, tidak mungkin tergerus oleh hal-hal yang berbau digital. Berbeda dengan seorang kasir yang dapat digantikan oleh kecerdasan buatan, begitu juga supir yang tidak ada lagi karena ada mobil tanpa supir," katanya. (Husni Sahal/Abdullah Alawi)


Terkait