Fragmen

Kiai Abbas dan Etnis Tionghoa

Jumat, 16 Februari 2018 | 06:30 WIB

Kiai Abbas dan Etnis Tionghoa

KH Abbas Buntet.

Kiai Abbas Abdul Jamil Buntet Pesantren dikenal sebagai salah satu komandan perang 10 November. Keperwiraannya tak lagi diragukan oleh seluruh kalangan. Cerita tentang kesaktiannya pada peperangan tersebut masih sering dituturkan oleh masyarakat santri, sampai Panglima TNI.

Di balik kehebatannya dalam ilmu kanuragan dan kealimannya pada segala macam bidang ilmu agama, sosok Kiai Abbas juga sangatlah moderat.

Man Us. Begitulah keturunan Tionghoa itu biasa dipanggil oleh masyarakat Buntet. Sosok bernama Usman itu sudah dianggap sebagai bagian dari keluarga Kiai Abbas. Sejak kecil, ia sudah dididik oleh Kiai Abbas layaknya anak sendiri. Ia juga dikirim ke pesantren di Jawa Timur untuk terus ngangsu kaweruh.

Maka tak aneh bila Usman dewasa selepas pulang dari Jawa Timur langsung mengabdi sebagai guru madrasah. Ia dikenal sangat alim. Kecakapannya dalam berbagai ilmu agama itu terlihat dari kemampuannya menjawab pertanyaan Kiai Akyas, adik Kiai Abbas.

Kiai Akyas dikenal sering mengetes kepintaran guru-guru madrasah dengan memberikan soal-soal yang cukup sulit untuk dijawab karena butuh kejelian dan pengalaman literasi yang mumpuni. Ketika guru-guru lain tak mampu menjawabnya, Man Us sendiri yang dapat membuat Kiai Akyas yang terkenal dengan ketegasannya itu mengakui kealiman Man Us.

Keakrabannya Kiai Abbas dengan etnis Tionghoa itu diteladani oleh putrinya, Nyai Sukaenah. Tahun 1977, Nyai Sukaenah memiliki sebuah kendaraan angkutan. Seorang warga Sindang laut bernama Shiem Oek menawarkan diri untuk menjadi sopirnya. Istri dari Muqoddam tarekat Tijaniyah Kiai Chawi itu dengan mudah menerima pria keturunan Tionghoa tersebut.

Dekatnya hubungan sosial antara Kiai Abbas dan keluarganya dengan masyarakat etnis Tionghoa itu bukan tanpa alasan. Tentu saja faktor sosial menjadi alasan utama. Selain itu, dalam diri Kiai Abbas juga mengalir darah Tiongkok.

Pandangan mata berbuah cinta. Ki Nurkati atau Kiai Nur Khatim tertarik meminang gadis pelayan toko keturunan Tionghoa. Cintanya itu disambut baik. Namun, ada saja jalan terjal yang harus dilalui Ki Nurkati agar cintanya itu berbuah manis. Orang tua gadis tersebut tidak menyetujuinya lantaran Ki Nurkati adalah orang pribumi.

Tapi karena jalinan asmara yang begitu kuat dan tekad yang bulat, akhirnya orang tua gadis itu luluh juga. Mereka merestuinya, tetapi dengan dua syarat yang amat berat. Pertama, gadis itu boleh menikah dengan Ki Nurkati dengan tanpa membawa barang apa pun dari rumahnya kecuali pakaian yang melekat di badannya.

Syarat pertama ini cukup mudah untuk ditaklukkan meski lumayan berat juga. Kedua, kalau punya keturunan, haruslah menjadi orang yang terbaik di Cirebon.

Syarat kedua ini tidak main-main. Ki Nurkati berpikir panjang dengan terus menjalani riyadloh puasa, istikharah dan amalan sunah lainnya. Siapa yang dapat mengetahui kalau nanti anaknya bakal jadi apa. Wong punya anak atau tidaknya juga tidak ada yang tahu kecuali Allah. Bersiap menanggung segala resikonya, akhirnya Kiai Nur Khatim menerima dua syarat tersebut.

Menikahlah dua insan berbeda etnis itu. Pernikahan keduanya melahirkan putra terbaik Cirebon bernama Syatori. Kiai Syatori diangkat sebagai penghulu langdrat Cirebon karena kepandaiannya dalam berbagai bidang ilmu agama.

Kiai Syatori memiliki seorang putri bernama Kariah. Kiai Abdul Jamil diminta mertuanya, Kiai Kriyan, untuk menikahi putri Kiai Syatori tersebut. Dari rahim Nyai Kariah, lahirlah sosok yang oleh Hadlratussyaikh KH Hasyim Asy’ari disebut sebagai singa dari Jawa Barat, Kiai Abbas. (Syakir Namillah Fiza)

Disarikan dari "Kisah-kisah dari Buntet Pesantren" karya Munib Rowandi Amsal Hadi dan keterangan dari cicitnya, KH Ahmad Syauqi Chowas.


Terkait